Acara Milad Muslimat NU di GBK dibuat viral seolah-olah para muslimat ini membuat Gelora Bung Karno kotor dan penuh sampah. Padahal, kenyataannya tidak. Saya menyelidiki hal ini dan menemukan fakta-fakta menarik. Tapi, sebelum ke sana, mari kita lihat sejenak hal ini.
Hampir dalam setiap kegiatan besar yang digelar keluarga besar Nahdlatul Ulama, kerap ada ‘serangan’ dalam berbagai bentuk termasuk ‘pelintiran-pelintiran’ yang dibuat oleh beberapa orang yang kemudian menjadi viral melalui media sosial hingga portal berita. Serangan pelintiran seperti ini skalanya berbeda-beda, ada yang besar ada yang kecil tergantung dari kemungkinan ‘menggorengnya’.
Barangkali masih segar dalam ingatan kita saat orang tidak dikenal mengibarkan bendera Hizbut Tahrir Indonesia dalam acara Hari Santri, 22 Oktober 2018 lalu. Kala itu, sejumlah anggota Banser terprovokasi dan membakar bendera tersebut.
‘Umpan’ termakan sempurna, dan benar saja, kejadian yang memang didesain untuk memojokkan NU itu berbuntut panjang. Fitnah bahwa Banser NU membakar ‘bendera tauhid’ dimainkan di media sosial, dilanjut media online, koran dan televisi, maka jadilah berita nasional tentang pembakaran bendera.
Kini, permainan serupa juga dimainkan. Pemainnya sebuah akun facebook bernama An Nisa. Akun ini mengunggah foto sejumlah barang yang masih berserakan di lantai dan belum dirapihkan pada kegiatan Muslimat NU di Stadion Gelora Bung Karno.
Dalam foto tersebut, akun ini menulis keterangan yang tidak hanya ingin meng-highlight ‘sampah di mana-mana’ tapi juga melemparkan tuduhan yang tidak sopan bagi Muslimat NU. “Acara pagi ini di GBK sampah everywhere (di mana-mana). Ngeri liat sampah ketemu sampah. Pantesan tidak ada yang bersih fikirannya,” tulis akun ini, Ahad (27/1).
Tentu tuduhan ini subjektif dan tidak benar. Sebab saat menyelenggarakan kegiatan Harlah ke 73, kepanitiaan acara Muslimat NU di bawah pimpinan Yenny Wahid ini telah menyiapkan berbagai persiapan mulai sebelum, saat acara berlangsung hingga selepas acara selesai, termasuk dengan menyiapkan tim relawan petugas kebersihan dari pemuda-pemudi NU, di antaranya santri Pondok Pesantren Assiddiqiyah, Jakarta.
Faktanya puluhan santri berpakaian putih hitam ini tampak sudah aktif mengerjakan tugasnya sejak Ahad (27/1) dini hari. Dengan menggunakan sarung tangan, mereka membawa kantong plastik besar berwarna hitam, mereka telah ditempatkan secara sistematis di berbagai sudut stadion untuk memunguti sampah-sampah yang tercecer di area Harlah di GBK.
“Anak-anak muda yang memungut sampah itu sudah ngambilin sampah sejak sekitar pukul satu malam (Ahad 01.00 WIB dini hari),” kata Arasiyah, seorang peserta Harlah Muslimat NU asal Gresik.
Serangan akun buzzer
Sekitar 10 jam setelah akun An Nisa ini melemparkan tuduhan melalui postingannya, sebanyak 800 lebih akun membagikan kembali postingan tersebut. Namun berdasarkan penelusuran secara seksama, akun tersebut tidak seperti akun milik pribadi tapi lebih merupakan akun yang dibuat dan dikendalikan untuk kepentingan tertentu atau lebih familiar disebut dengan akun buzzer.
Indikasinya ada beberapa: Pertama, akun tersebut menggunakan foto profil pasangan capres-cawapres tertentu. Kedua, dalam postingannya akun yang terdaftar pada tahun 2011 sebagian besar hanya membagikan berita atau konten dengan jenis tertentu yang identik, misalnya tentang aktivitas pasangan capres-cawapres, isu Palestina, gerakan 212, konten tanda pagar #2019GantiPresiden, poster Muslim Cyber Army dan isu sejenis.
Berdasarkan pengalaman Penulis, ciri-ciri akun media sosial semacam ini bukanlah akun milik pribadi, namun akun tanpa nama (anonymous) yang dibuat untuk kepentingan tertentu.
Tentu akun ini bukan satu-satunya yang ‘diciptakan dan bertugas’ seperti itu. Dalam kasus Muslim Cyber Army yang terungkap tahun lalu, terdapat ribuan akun serupa yang diciptakan, dikembangbiakkan dan dijadikan alat untuk menciptakan isu tertentu di kalangan masyarakat Indonesia. Namun tak jarang akun seperti ini berhasil mempengaruhi masyarakat luas.
Ross Tapsell, peneliti Media Indonesia dari The Australia National University Australia dalam analisanya menyebut, tingginya peminat media di luar media mainstream diakibatkan oleh kekecewaan masyarakat pada media mainstream yang terlibat begitu dalam pada politik praktis dalam pemilu 2014.
Kepercayaan masyarakat yang menurun melahirkan celah yang diisi oleh ‘media alternatif’ sebagai sumber informasi.
ayangnya masyakat tidak banyak yang memiliki kemampuan literasi yang cukup untuk bisa membedakan antara konten atau media yang memiliki kredibilitas redaksi yang sesuai dengan kaidah jurnalistik atau yang abal-abal.
Dari fenomena demikian, lahirlah konten pelintiran dan konten lain yang memiliki tujuan tertentu termasuk konten hoaks.
Maraknya berita hoaks dan pelintiran informasi direkam oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Menurut Anita Wahid, salah satu petinggi Mafindo yang juga merupakan putri ketiga Gus Dur, maraknya konten hoaks di Indonesia relatif dimulai tahun 2014 saat Indonesia sedang menjalani Pilpres.Sejak saat itu konten hoaks begitu banyak di media sosial, media online dan platform chatting.
Menurut temuannya konten terbanyak adalah konten agama dan politik. Saat ini, rata-rata terdapat tiga konten semacam ini yang diproduksi dan disebarkan setiap hari.