Sejak awal bulan Januari, para calon legislatif sudah mulai memasang alat peraga kampanye di beberapa titik yang dianggap potensial, untuk memperkenalkan diri mereka sebagai calon wakil rakyat. Beragam pose dan gaya telah dilakukan untuk memperoleh gambar terbaik yang akan disematkan dalam alat-alat kampanye, sebagai salah satu trik untuk mendulang suara masyarakat.
Pakaian, alat yang paling sering dipakai untuk jadikan penanda sebagai ikhtiar untuk membranding mereka sebagai calon rakyat. Yang menarik dari trik ini adalah kerudung atau dalam bahasa sekarang sering disebut dengan hijab, hampir dipakai semua calon legislatif muslimah. Mungkin mereka takut dibilang kurang Islami atau tidak diidentifikasi sebagai bagian dari umat Islam karena tidak memakai jilbab atau hijab. Sebagaimana kita maklumi, pemilih muslim adalah pemilih terbesar, dan agama dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya.
Fenomena memakai kerudung memang bukanlah sesuatu yang asing di masyarakat kita, apalagi masyarakat kita dikenal sebagai masyarakat agamis. Tapi fenomena memakai kerudung dianggap sebagai identifikasi diri sebagai bagian dari umat Islam itu adalah hal yang menarik. Apalagi jika kita hubungkan dengan fenomena hijrah yang sekarang ini sedang menjadi perbincangan di mana-mana.
Dalam salah video di Youtube channel milik Felix Siauw yang diupload tanggal 25 Desember 2018, beliau menganggap bahwa fenomena keberagamaan baru mulai ramai sejak 10 tahun terakhir. Agama Islam menurut Felix Siauw belum terlalu digandrungi di masa awal dia terjun ke dunia dakwah.
Dunia sekarang menurut Felix Siauw bukanlah dunia yang islami, dan kebanyakan dari masyarakat muslim baru berhijrah tidak lebih dari 10 tahun. orang-orang belum tertarik dengan Islam secara massif seperti sekarang. Islam dianggap Felix Siauw belum terlalu dipeluk dengan sebenarnya oleh masyarakat muslim sebelum dekade ini. Pernyataan Felix Siauw ini kemudian dipertegas dengan memberikan contoh bahwa berkerudung tidak seramai sekarang.
Felix seakan menegaskan bahwa seorang muslimah diidentifikasi dengan selembar kain yang melekat di kepala mereka untuk menutupi bagian dari aurat mereka. Fenomena pakaian islami memang mulai ramai diperbincangkan, apalagi banyak fenomena baru yang muncul yang menyertai persoalan pakaian islami ini. Diantaranya, banyak produk-produk kosmetik yang ikut memunculkan produk-produk khusus muslimah, seperti shampo, pupur hingga bedak.
Perempuan juga terus digempur untuk dengan tawaran berbagai produk pakaian. Akhirnya pakaian islami tidak lagi sekedar berfungsi sebagai identifikasi identitas keberagamaan perempuan, tapi juga sebagai bagian gaya hidup. Inilah yang membuat fenomena pakaian Islami, yang sebenarnya tidak sesimpel persoalan identitas keislaman seseorang. Banyak hal yang melingkupi persoalan pakaian ini, seperti ekonomi, politik, sosial hingga budaya.
Elizabeth Bucar menggunakan istilah pious, bermakna saleh, untuk mendeskripsikan pakaian yang dipakai oleh perempuan muslim. Bucar dalam bukunya berjudul Pious Fashion: How Muslim Women Dress, menjelaskan alasan mengapa ia menggunakan istilah saleh untuk menggambarkan bahwa pakaian tersebut cukup berdampak pada ukuran moralitas, atau bahasa lainnya kesalehan dalam menjalankan agama.
Pengalaman Bucar berinteraksi dengan perempuan muslim di negara Iran dan Turki saat melakukan riset di sana. Bucar menjelaskan di dalam bukunya, unsur syariat atau ajaran tidak menjadi pertimbangan utama dalam persoalan pakaian kesalehan. Sebab, setiap daerah memiliki pertimbangan politik, ajaran agama yang dominan, ekonomi, konsumsi, nilai, bahkan kecantikan atau fashion.
Setiap negara memiliki sejarah yang berbeda dalam persentuhan dengan ajaran agama Islam. Turki dan Iran walau berdekatan karena sesama negara di wilayah Timur Tengah, tapi sangatlah berbeda dalam melihat pakaian kesalehan. Iran dengan sejarah Revolusi di akhir 70an, sangatlah ketat memahami batas pakaian kesalehan, khususnya pada perempuan. Berbeda dengan Turki dengan sejarah gempuran sekulerisasi, sehingga terjadi pengaturan yang ketat dari Negara. Namun, akhir-akhir inj mendapatkan tantangan kehadiran kelas menengah, yang menegoisasikan nilai baru dalam arti pakaian kesalehan yang pada awalnya bentuk sangat sederhana, bahkan dianggap kurang modis, sekarang sudah menghancurkan stigma tersebut.
Indonesia malah memiliki perjalanan yang berbeda lagi ketimbang dua Negara tersebut. Sebab, Indonesia tidak pernah memiliki aturan yang jelas dan ketat soal berpakaian yang diasumsikan sebagai pakaian kesalehan, kecuali dalam lembaga pendidikan, tapi sejarah menunjukkan bahwa perjalanan makna pakaian Islami belum muncul sebelum 10 tahun terakhir. Awalnya pakaian Islam diasumsikab pada penutup kepala yang sangat sederhana bernama kerudung, sehelai kain seperti yang dipakai ibu Shinta Nuriyah, terus berkembang dengan masuknya pengaruh revolusi Iran yang membuat kata jilbab melambung di masyarakat sebagai penutup kepala perempuan muslim.
Pakaian islami diasumsikan sebagai bagian seluruh pakaian karena mulai berkembanganya fashion di Indonesia yang mulai merambah kalangan masyarakat muslim. Inilah mulai ada baju-baju muslim perempuan yang didesain dengan menghilangkan bahwa pakaian islami cuma penutup kepala. Saat ada orang berjilbab dengan baju yang biasa atau sederhana belum dianggap berpakaian Islami, karena ada nilai yang dikembangkan oleh kalangan konservatif bahwa pakaian Islami untuk perempuan wajib longgar.
Kehadiran cadar atau niqab dalam masyarakat muslim Indonesia, walau hingga masih banyak resistensi dari masyarakat, tapi memberikan peluang masuknya nilai-nilai baru. Negosiasi, aprosiasi hingga resistensi atas kehadiran cadar arau niqab akan memunculkan nilai-nilai baru. Seperti, di Arab Saudi tidak akan kita temui seorang wanita bercadar mengendarai sepeda motor sendirian karena dilarang, alasannya tidak bersama muhrim. Di Indonesia, kita bisa saja menemukan perempuan bercadar tapi sambil jualan di pasar, bahkan saya pernah menemui dua orang perempuan bercadar berjualan gorengan di pinggir jalan.
Pakaian memang memiliki karakter cair, sehingga sangat mudah terpengaruh dengan budaya setempat. Jadi, kalau dulu cadar dianggap sebagai pakaian yang diasumsikan sebagai pakaian kalangan konservatif atau cenderung pada teroris, sekarang kita sangat mudah menemui perempuan bercadar ke mall, nonton bioskop, nongkrong di cafe, atau bahasa lainnya cadar sekarang sudah terpapar nilai-nilai konsumerisme yang dulu dianggap sebagai kutub yang berseberangan dengan ideologi pemakai cadar.
Bagi kalangan moderat, cadar memang masih menjadi momok. Sebab, hal utama yang dilawan oleh kalangan moderat adalah ideologi tertutup, sehingga sering menyalahkan mereka yang tidak memakai cadar dan dicap sebagai orang yang belum hijrah atau belum islami. Jadi, menolak cadar bukan berarti menolak ajaran Islam atau tidak islami.
Sering ujaran “kok tidak syar’i sih?” distigmakan kepada mereka yang tidak memakai pakaian yang lebar dan longgar juga tidak dilengkapi dengan jilbab yang panjang juga lebar. Padahal, jika kita kembali ke penjelasan di atas, maka pakaian kesalehan itu sangatlah cair. Sebab di Indonesia dianggap sangat syar’i, bisa saja di Iran atau di wilayah lain belum dianggap sebagai yang syar’i.
Dus, janganlah baper atau bawa perasaan kalau soal urusan pakaian, sebab batas syar’i setiap daerah di dunia saja masih berbeda. Lah, adalah hal yang mustahil jika kita baru dianggap berhijab syar’i saat kita memakai pakaian yang sama dengan Hijab Squadnya yang digawangi Shereen Sungkar kan. Sebab, berpakaian islami kan tidak milik mereka doang, semuanya berhak mengartikulasikan bagaimana pakaian islami tersebut.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin