Beberapa orang masih berpikir bahwa gerakan 212 adalah hak. Mereka pikir gerakan ini adalah bagian sah dari demokrasi. Mereka bilang tidak ada aturan yang dilanggar oleh gerakan tersebut.
Pendapat yang sepintas masuk akal itu jelas salah kaprah, bahkan sesat pikir. Mereka menutup mata terhadap kenyataan bahwa asal mula gerakan 212 adalah penolakan terhadap Ahok. Mereka bertolak dari keyakinan dari sebuah tafsir reduksionis dan sektarian terhadap Al-Maidah 51 yang menyatakan bahwa non-Muslim tidak boleh menjadi pemimpin dalam pemerintahan.
Dengan kata lain, sejak awal gerakan 212 meyakini suatu pandangan bahwa pemimpin di negeri ini hanya milik umat Islam. Selain umat Islam hanya berhak menjadi warga biasa. Jika mau dikatakan lebih lugas, selain umat Islam adalah warga negara kelas dua.
Namun tidak mengherankan jika sejumlah sejawat akademisi, termasuk di LIPI dan kementerian/lembaga pemerintah lainnya, masih menyangkal alur pikir sederhana ini. Mereka adalah kaum konservatif yang berlatar belakang Masyumi (biarpun Yusril Ihza Mahendra sudah merapat, keluarga besar Masyumi masih sangat anti-Jokowi) atau para pemuda/pemudi hijrah. Jika bukan itu, mereka adalah kaum oportunis yang berharap dapat rente lebih jika Prabowo berkuasa.
Intoleransi politik ini sangat berbahaya. Meski kelihatannnya sekadar tentang siapa yang berkuasa, implikasinya terhadap masa depan bangsa dan negara tidak terkira. Meski tampaknya sekadar tentang Jokowi atau Prabowo, dampak merusak yang ditimbulkannya akan membuat kebhinekaan kita berada dalam ancaman.