Karena sejak 1998 birokrasi kita mengalami kekosongan ideologi yang lalu diisi oleh paham Islam konservatif. Paham ini tumbuh subur mengikuti kran kebebasan demokrasi. Bahkan sesungguhnya sejak satu dekade sebelumnya, Soeharto telah memanfaatkan paham ini sebagai basis ideologi kekuasaan politiknya.
Paham Islam konservatif cocok bagi kalangan pemuda dan pemudi hijrah. Mereka adalah anak muda yang belajar Islam di SMA atau ketika kuliah. Kebetulan prestasi akademik mereka rata-rata bagus, sehingga ketika ada tes CPNS mereka berhasil menembusnya.
Rekrutmen PNS di era pasca-Orde Baru sepenuhnya didasarkan pada kompetensi kognitif formal, bukan lagi kemantapan ideologi seperti sebelumnya. Mereka yang mempunyai IPK atau skor TPA dan TOEFL/IELTS tinggi akan mudah melaluinya. Tidak ada evaluasi normatif apakah mereka diam-diam atau terang-terangan merindukan terbentuknya khilafah.
Namun persoalan pokoknya bukan sekadar para PNS–sekarang disebut ASN–itu merindukan khilafah (sesuatu yang tidak akan terjadi), tetapi sikap mereka yang intoleran dalam politik. Mereka bisa menerima teman beda agama sebagai tetangga atau sejawat kantor, tetapi bukan sebagai pemimpin dalam pemerintahan. Mereka cukup yakin hal itu terlarang dalam Islam.
Para ASN konservatif tidak menyukai Jokowi dan, apalagi, Ahok. Meskipun Jokowi jelas Islam, tetapi dinilai kurang Islami atau bahkan anti-Islam. Alasannya bisa bermacam-macam, termasuk ketidakpuasan penghasilan, tetapi semua itu dibingkai oleh paham keagamaan konservatif yang sekarang dikuatkan oleh hoaks di media sosial. Tidak peduli sarjana atau doktor lulusan Amerika atau Eropa, mereka melihat rezim yang sekarang adalah ancaman.
Aksi 212 adalah saluran untuk melampiaskan perasaan terancam itu. Para ASN yang terlibat dalam aksi itu tidak hanya para kroco, tetapi juga para pejabat eselon 2 dan 3, bahkan beberapa eselon 1. Mereka tiba-tiba tampil memakai kopyah putih, menyuarakan suatu aspirasi Islam politis yang entah mereka pahami implikasinya atau tidak terhadap masa depan bangsa.
Pertanyaannya, sampai kapan kekosongan ideologi itu dibiarkan begitu saja?