Cukup pasti usaha untuk membangkitkan memori kejayaan Orde Baru adalah rekayasa politis. Keluarga Cendana yang sekarang merapat ke kubu Prabowo-Sandi sangat berkepentingan dalam hal itu. Mereka membiayai sejumlah media agara mewacanakan isu tersebut terus menerus.
Akan tetapi, rekayasa politis tidak akan berjalan tanpa fakta sosiologis. Di sini kita harus membuka diri dengan kenyataan pahit. Bahwa memang sebagian masyarakat kita masih menganggap Soeharto adalah presiden terbaik yang pernah ada di republik ini.
Fakta sosiologis ini mesti ditanggapi serius. Jangan-jangan penilaian yang menempatkan Soeharto sebagai sosok otoriter adalah pikiran yang elitis. Pikiran ini hanya berkembang di kalangan aktivis atau akademisi atau kalangan umumnya yang memang bersungguh-sunguh belajar sejarah. Di luar mereka, masyarakat justru merasa era pemerintahan Soeharto sebagai zaman normal.
Harus diakui bahwa reformasi politik yang telah berjalan 20 tahun terakhir kurang menyentuh aspek kesadaran kultural rakyat. Setelah Soeharto jatuh, mereka sebenarnya mengalami kekosongan ideologi yang lalu diisi oleh kelompok Islam garis keras. Mereka gencar sekali berdakwah. Hasilnya bisa disaksikan hari-hari ini. Prabowo-Sandi yang sangat sekuler sekalipun diyakini sebagai wakil Islam karena didukung oleh kelompok ini.
Sementara itu, kalangan anti-Soeharto tidak mampu berorganisasi. Mereka bersuara sendiri-sendiri, seolah-olah dengan begitu mereka merasa keren sebagai intelektual mandiri. Mereka lupa pesan sayyidina Ali bin Abi Thalib sekian abad lalu yang menyatakan bahwa kebaikan yang tidak terorganisir akan kalah oleh kejahatan yang terorganisir.