Beberapa hari lalu saya menghadiri sebuah pertemuan di county (setingkat kabupaten) Kwale, bagian dari regional Coast, Kenya. Kenya merupakan sebuah negara di Afrika Timur yang berpenduduk lebih dari 40 juta jiwa. Dari segi keberagamaan, 80% penduduk Kenya menganut Kristiani. Sekitar 10% memeluk Islam, dan lainnya adalah pemeluk agama Hindu dan agama lokal.
Kwale merupakan salah satu tempat di mana mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Dulunya, wilayah yang dekat dengan samudra Hindia ini merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Islam Zanzibar, Tanzania. Ketika era kolonialisme datang, wilayah ini diserahkan kepada penjajah Inggris dengan catatan bahwa pemerintahan kolonial harus menjamin kebebasan menjalankan agama Islam bagi penduduknya.
Saya sangat beruntung karena dipertemukan dengan Syekh Amani, salah seorang imam masjid di wilayah ini. Ia hadir di tengah-tengah hadirin yang datang dari Pakistan, Kenya, Indonesia, India dan Belanda. Ia membicarakan tentang gagasan perdamaian dalam agama Islam dan bagaimana kiprah muslim di Kenya menjaga keharmonisan antar umat beragama. Sebagai seorang tokoh agama, Syekh Amani tergolong sangat humble dan tidak arogan. Ketika diminta memimpin doa sebagai pembuka forum, ia dengan begitu rendah hati mempersilakan seseorang untuk memimpin doa tersebut. “Please, my brother,” ujarnya sembari menunjuk salah seorang yang ternyata adalah pendeta.
Dalam sebuah diskusi terbatas, Syekh Amani bertanya beberapa hal tentang Indonesia. Ia begitu takjub ketika mendengar bahwa Indonesia memiliki jumlah populasi yang begitu besar. Saya jelaskan pula dari besarnya populasi tersebut, 80 persen adalah Islam. Hebatnya, Islam masuk ke Indonesia melalui jalur kebudayaan, bukan melalui perang sebagaimana terjadi di beberapa wilayah di dunia. Karenanya, banyak budaya di Indonesia yang diserap menjadi budaya Islam dan masih eksis hingga hari ini seperti tahlilan, kendurian, halal bihalal, mocopat, dan lain sebagainya.
Kami kemudian berbincang mengenai keberagaman di negara masing-masing. Syekh Amani menyebut tidak ada masalah dalam kehidupan keberagaman di wilayahnya. Hal tersebut terjadi karena para pemuka agama saling bersahabat sebagaimana ia tunjukkan di dalam forum. ‘Saya muslim, tetapi saya tetap berkawan baik dengan orang lain. Bagi saya ini perwujudan ajaran Islam sebagai agama yang menjadi rahmat untuk semua manusia,’ ujarnya. Ucapan Syekh Amani ini mengamini apa yang saya perbincangkan dengan komunitas pemuda lintas iman sehari sebelumnya. Para pemuda itu mengakui bahwa persaudaraan atas nama manusia adalah kunci keharmonisan. ‘Lihatlah, hari ini kita berkumpul di sini. Saya dari Kenya. Kalian berasal dari Pakistan, Indonesia, Belanda, dan India. Kita bisa saling bercengkerama tanpa ada masalah. Ini semua karena kita adalah saudara,’ ujar Bakar, salah seorang peserta. Ya, pada hari itu kami saling berbagi mengenai ajaran kasih agama masing-masing di bawah pohon rimbun di halaman gereja.
Othman, seorang peserta yang lain, menimpali bahwa di dalam ajaran Islam terdapat ajaran untuk berbuat baik kepada tetangga. Siapa itu tetangga? Ialah yang rumahnya berada 40 rumah di arah barat, timur, utara, dan selatan dari rumah kita. Menurutnya, Nabi tidak membedakan tetangga dengan agama tertentu saja. Karenanya, Islam sebenarnya mengajarkan untuk hidup berdampingan dengan orang lain tanpa pernah membeda-bedakan berdasarkan suku atau agamanya.
Di forum tersebut, kami sama-sama membincangkan tentang bagaimana mempertahankan kehidupan yang harmonis di tengah ancaman teror yang ada di berbagai wilayah di dunia. Kenya sendiri merupakan negara dengan peristiwa teror cukup tinggi. Beberapa kali bom meledak di kawasan umum seperti pusat perbelanjaan dan kampus. Karenanya, para pemuda ini ikut resah karena pelaku teror menggunakan agama sebagai dalih pembenarannya. Padahal agama mana pun tidak pernah mengajarkan teror. ‘Terrorist has no religion!’
Slogan ini saya kritik karena pada kenyataannya teroris memiliki agama dan menggunakan agama sebagai semangat perjuangannya. Mereka memiliki agama tetapi pemahaman tentang agamanya itulah yang keliru. Yang perlu dilakukan bukanlah menganggap teroris tidak punya agama, tetapi bagaimana ajaran-ajaran agama yang mereka pahami itu diluruskan sesuai dengan makna sebenarnya. Misalnya saja ajaran tentang jihad tidak dipahami sempit sebagai aksi angkat senjata. Interpretasi jihad sebagai angkat senjata bahkan tidka relevan karena dunia saat ini hidup damai berdampingan. Belajar dengan tekun, bekerja dengan baik, mengasihi sesama, dan berjuang menegakkan perdamaian adalah bagian dari jihad. Wallahua’lam.
Sarjoko Wahid, penulis aktif di Seknas Jaringan Gusdurian Indonesia.