Tradisi ziarah kubur sudah menjadi bagian dari kehidupan bagi masyarakat muslim Indonesia. Bukan hanya makam para wali dan orang saleh, makam sanak famili pun rajin diziarahi, bahkan ini yang paling sering, utamanya pada hari Kamis dan Jum’at.
Selain melakukan ritual ziarah, para peziarah biasanya juga membersihkan makam dengan mencabuti rumpu dan memunguti dedaunan.
Bagaimanakah para ulama memandang hal tersebut? Dalam banyak referensi disebutkan bahwa mencabut rumput dan memunguti dedaunan di atas kuburan hukumnya haram, seperti disebutkan dalam Fath al-Mu’in:
يسن وضع جريدة خضراء على القبر للاتباع ولأنه يخفف عنه ببركة تسبيحها وقيس بها ما اعتيد من طرح نحو الريحان الرطب ويحرم أخذ شيء منهما ما لم ييبسا لما في أخذ الأولى من تفويت حظ الميت المأثور عنه صلى الله عليه وسلم, وفي الثانية من تفويت حق الميت بارتياح الملائكة النازلين
“Disunahkan menaruh pelepah kurma yang masih segar di atas kuburan dalam rangka mengikuti apa yang dilakukan Nabi saw, karena hal itu mayat akan diringankan dari siksa atas berkat tasbih pelepah kurma tersebut, begitu pula tanaman sejenis kemangi. Dan haram mengambilnya selagi belum kering, karena termasuk menghalangi mayit mengambil manfaat dan haknya, berupa diringankan siksanya dan dikunjungi malaikat”
Secara umum hukumnya demikian, namun jika kita bahas lebih detail lagi, terdapat perbedaan sebagaimana disebutkan Sayyid Bakr Syaththa dalam I’anah-nya:
وظاهره أنه يحرم ذلك مطلقا، أي على مالكه وغيره. وفي النهاية: ويمتنع على غير مالكه أخذه من على القبر قبل يبسه، فقيد ذلك بغير مالكه.
وفصل ابن قاسم بين أن يكون قليلا كخوصة أو خوصتين، فلا يجوز لمالكه أخذه، لتعلق حق الميت به، وأن يكون كثيرا فيجوز له أخذه
“Secara dzohir keharaman mengambil pelepah kurma dan tumbuhan sejenis kemangi tadi berlaku baik bagi orang yang meletakkannya maupun orang lain. Dalam Nihayah, Al-Ramli mengatakan bahwa keharaman tersebut berlaku bagi orang lain saja, tidak bagi orang yang meletakkannya. Sedangkan Ibn Qasim memerinci, jika sedikit maka tidak boleh diambil karena ada hak mayat, jika banyak maka boleh diambil sebagian”
Dalam hal ini, rumput hukumnya sama dengan pelepah kurma, sebagaimana disebutkan Syaikh ‘Ali Syabromallisi dalam catatan kakinya atas Nihayah:
وينبغي أنه لو نبت عليه حشيش اكتفي به عن وضع الجريدة
“Semestinya jika di atas kuburan sudah tumbuh rumput, hal ini sudah cukup, tidak perlu meletakkan pelepah kurma”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam masalah ini rumput sama hukumnya dengan pelepah kurma, demikian menurut Mazhab Syafi’i. Sedangkan dalam Mazhab Hanafi, mencabut tumbuh-tumbuhan di atas kuburan hukumnya makruh, salah satunya disebutkan Al-Khadimi dalam Bariqah Mahmudiyyah:
ويكره قطع الحطب والحشيش من المقبرة فإن كان يابسا فلا بأس به لأنه ما دام رطبا يسبح فيؤنس الميت
“Makruh hukumnya memotong kayu dan rumput kuburan kecuali sudah kering, karena tumbuhan membaca tasbih selagi masih basah yang mana hal ini membuat mayat senang”
Dari beberapa keterangan di atas, dapat kita ambil garis besarnya, bahwa hukum mencabut rumput kuburan dalam Mazhab Syafi’i adalah boleh jika sudah kering, jika masih segar/basah maka ada beberapa perincian:
- Jika yang mencabut/memunguti rumput adalah pemiliknya, maka diperbolehkan dengan syarat menyisakan sebagian untuk mayat
- Jika bukan pemiliknya maka tidak diperbolehkan secara mutlak
Sedangkan dalam Mazhab Hanafi hukumnya makruh jika masih segar/basah, dan mubah bila sudah kering.
Wallahu A’lam.