Keilmuan Islam mulai mencapai puncaknya pada abad kedua hijriah. Setelah wafatnya Nabi, salah satu persoalan adalah tentang penetapan hukum dalam Islam. Hal ini juga didesak meluasnya Islam ke pelbagai daerah, yang memberi ragam pendekatan atas sumber hukum Islam.
Di antara kemilau era itu, Mazhab Hanbali adalah salah satu mazhab yang banyak diikuti dan masih eksis hingga hari ini. Tokoh pendirinya bernama Imam Ahmad bin Hanbal. Ahmad bin Hanbal lahir di Baghdad, pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H. Pada nasabnya, ia bernama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal dari kalangan Bani Syaiban, salah satu kabilah di Arab. Nama Ahmad bin Hanbal ini disandarkan pada kakeknya.
Sebagaimana dicatat Adz Dzahabi dalam kitab Siyar A’lam an Nubala’, ayahnya adalah seorang pimpinan militer di Khurasan. Saat masih kanak-kanak, Ahmad bin Hanbal ditinggal wafat oleh ayahnya yang gugur dalam pertempuran melawan Bizantium. Sedangkan kakeknya, Hanbal, adalah seorang gubernur pada masa Dinasti Umayyah.
Banyak ulama menyebutkan bahwa Imam Ahmad berkutat mencari ilmu di Baghdad dan sekitarnya sampai usia 19 tahun. Setelah menghafal Al Quran di usia belia, ia mulai mengumpulkan hadis dan mendalami fikih sejak umur 15 tahun.
Setelah masa-masa di Baghdad, ia berkelana ke banyak daerah, seperti Kufah, Basrah, Makkah, Madinah, Yaman dan Syam, guna berguru kepada ulama terkemuka setempat.
Para periwayat hadis banyak sekali tercatat pernah tinggal, atau setidaknya, singgah di Baghdad. Para tokoh ulama ini diabadikan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Oleh sebab itu Ahmad bin Hanbal begitu terpengaruh oleh mereka, dan nantinya merupakan salah satu kalangan ahlul hadits terkemuka.
Sebagian besar kekayaan ilmu Ahmad Ibn Hanbal diperoleh di kota kelahirannya, Baghdad. Sebagai sosok yang besar di sana pada kurun abad ke 2 hijriah, Ahmad bin Hanbal berada dalam pusaran keilmuan Islam. Berkat ketekunannya mengumpulkan hadis, Ahmad bin Hanbal memiliki hafalan hadis yang banyak sekali. Ini membuatnya sangat kompeten dalam periwayatan hadis, dan segera menjadi salah satu tokoh terkemuka di bidang tersebut.
Di samping itu, ilmu fikih mulai banyak dikembangkan pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Saat Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan mengambil alih kekuasaan dari Ali bin Abi Thalib, pusat pemerintahan dipindahkan dari Madinah ke Damaskus. Kemudian ketika Abbasiyah mengambil alih kekuasaan dari Bani Umayyah, pusat kerajaan atau ibu kota politik dunia islam dipindah ke kota Baghdad.
Beliau belajar kepada para guru tersohor, seperti Syekh Abu Yusuf – salah satu murid utama Abu Hanifah, kemudian Abdur Razzaq – salah satu generasi pemula penyusun kitab hadis, serta Imam asy Syafi’i.
Ketika Imam asy-Syafi’i tinggal di Baghdad, Ahmad Ibn Hanbal rajin mengikuti halaqahnya. Kedalaman ilmu fikih dan hadisnya menjadikan pribadi Ahmad ibn Hanbal sebagai pribadi yang unggul di majelis Imam asy-Syafi’i. Imam asy-Syafii juga tercatat berjumpa dengan Imam Ahmad di dataran Hijaz saat Imam Ahmad sedang melakukan haji, serta saat Imam asy-Syafi’i sedang berkunjung ke Irak.
Imam asy Syafi’i pun memuji sosok Imam Ahmad bin Hanbal: “Aku keluar dari Irak, dan tiada kutemui orang yang lebih mumpuni ilmunya dan zuhud dibanding Ahmad bin Hanbal,” tutur beliau.
Ia digambarkan para muridnya sebagai pribadi yang wara’, santun, dan ramah. Ahmad bin Hanbal fokus menimba ilmu, dan baru menikah pada usia 40 tahun. Di usia itu, dengan perbendaharaan ilmu yang kaya khususnya dalam bidang hadis dan fikih, Ahmad mendirikan majelis tersendiri di kota Baghdad.
Oleh beberapa ulama ia dinilai mengikuti jejak Imam Abu Hanifah yang membuka majelis saat usia serupa, dan dianggap baru memberanikan diri membuka majelis usai wafatnya Imam Syafi’i sebagai bentuk takzim. Dari majelis ini pula, Ahmad bin Hanbal mulai merumuskan dasar-dasar mazhabnya, mengeluarkan fatwa, dan membimbing murid-muridnya.
Polemik Ahlu al-Ra’yi dan Ahlul Hadits
Sebagaimana disebutkan sebelumnya Ahmad bin Hanbal merupakan sosok pemuka kalangan ahlul hadits. Kalangan ini berhati-hati terhadap dominasi akal atas wahyu, yang berada dalam kubu kaum rasionalis atau ahlu al-ra’yi, dan mempertahankan posisi hadis sebagai sumber hukum Islam. Murid-murid utamanya pun banyak ulama hadis tersohor, seperti Imam al Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Dawud.
Ahmad bin Hanbal sebenarnya juga berguru pada kalangan rasionalis itu. Salah satu gurunya, Abu Yusuf, dinilai banyak berorientasi pada fikih Irak yang di dominasi oleh ahlu al-ra’y (penggunaan akal) dalam mengambil simpulan hukum. Hal ini memberikan semacam inspirasi dan semangat kepada Ahmad Ibn Hanbal untuk mengoleksi hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.
Karena berhati-hati terhadap dominasi rasio atas wahyu, baik dalam akidah maupun hukum Islam, kalangan ini berbenturan dengan kaum rasionalis. Pada mulanya, daerah Irak banyak mengikuti rumusan Imam Abu Hanifah. Pendiri Mazhab Hanafi ini mengemukakan peran akal dalam perumusan hukum, yaitu dalam metode qiyas dan istihsan.
Meski bermula sebagai diskursus hukum Islam, penggunaan rasio ini di kemudian hari melebar pada soal-soal ketuhanan, yang semakin digiatkan oleh kalangan Muktazilah. Hal inilah yang pada abad kedua dan ketiga Hijriah kurang mendapat simpati dari ahlul hadits, yang saat itu menjadi mayoritas.
Selanjutnya, kedatangan Imam asy-Syafi’i di Baghdad pada akhir abad kedua hijriah, menjadi oase bagi kalangan ahlul hadits. Sosok inilah peletak dasar-dasar rasionalitas untuk ahlul hadits, dan banyak diikuti umat Islam, salah satunya Ahmad bin Hanbal.
Karena polemik ilmiah ini, Ahmad bin Hanbal menekankan untuk menjauhi peran qiyasberikut dominasi rasio dalam perumusan hukum. Begitu juga ia berada pada koridor untuk menyandarkan amaliah dan hukum Islam pada hadis, maupun pendapat sahabat dan tabi’in, kendati secara kualitasnya tidak mencapai derajat yang sahih, selama tidak bertentangan dengan Alquran dan hadis sahih.
Keriuhan debat intelektual di atas menunjukkan bahwa Baghdad di masa itu merupakan pusat transmisi hadis dan kajian fikih kaum Sunni. Sekurang-kurangnya ada dua poros utama di sana: kaum rasionalis yang dikembangkan pengikut Imam Abu Hanifah, dan kalangan ahlul hadits yang diikuti Ahmad bin Hanbal.
Peristiwa Mihnah dan Keteguhan Ahmad bin Hanbal
Selain metode fikih, satu hal yang bisa dicermati dari Imam Ahmad bin Hanbal ini adalah rumusan teologisnya. Ahmad bin Hanbal, selain dikenal sebagai muhaddits dan ahli fikih, ia juga memiliki dasar-dasar teologi yang banyak diikuti. Rumusan ini juga tak lepas dari polemik ahlu al-ra’yi dan ahlul hadits sebagaimana disebutkan di atas.
Klimaks dari persoalan teologi ini adalah peristiwa mihnah, yang dimulai pada masa Khalifah Al Makmun pada masa Dinasti Abbasiyah. Mihnah, secara bahasa berarti pengujian, pengadilan, atau inkuisisi. Peristiwa ini ditandai dengan pengujian para ulama atas doktrin khalqiyatul Qur’an atau ‘Alquran adalah makhluk’.
Praktek inkuisisi Muktazilah yang dikenal luas antara tahun 218-234 H / 833-848 itu terkait dengan pengaruh Muktazilah – sebagai oposisi dari ahlul hadits – yang memengaruhi kebijakan religio-politik khalifah al-Ma`mun, al-Mu’tashim dan al-Watsiq.
Kalangan Muktazilah, menyerukan salah satu doktrin terkait posisi Alquran sebagai makhluk, bukan bagian dari firman Tuhan yang qadim. Hal ini berbeda dengan doktrin yang diyakini oleh kalangan ahlul hadits, karena dengan meyakini Alquran sebagai makhluk atau ciptaan, akan mendelegitimasi posisi Alquran sebagai firman Tuhan.
Peristiwa Mihnah dimulai pada tahun 218 H/ 833 M. Bermula dari dekrit khalifah al-Ma’mun, dan berakhir pada masa kepemimpinan al-Mutawakkil. Selain kedekatan penguasa dengan kaum Muktazilah, peristiwa ini juga bentuk antisipasi pandangan alternatif yang bisa mengurangi kuasa pemerintah.
Para ulama dikumpulkan, dan mereka yang mengakui bahwa Alquran adalah makhluk akan dibebaskan dari hukuman. Penolak doktrin ini dianggap sesat dan tidak diterima persaksiannya. Tujuh ulama kalangan hadis diasingkan ke daerah Riqqah. Mereka baru bisa kembali ke Baghdad karena terpaksa mengakui hal itu, atas pertimbangan nyawa.
Sikap Ahmad Ibn Hanbal juga menentang khalqiyat Alquran ini, yang menyeretnya ke forum mihnah. Di depan khalifah al-Mu’tashim, Ahmad Ibn Hanbal dicambuk lalu dipenjarakan karena pantang mengakui bahwa Alqur`an adalah mahluk. Pada masa pemerintahan al-Watsiq, Ahmad Ibn Hanbal dibuang dari Baghdad.
Sikap ini tercatat dalam perkataannya sebagai berikut, dan menunjukkan posisinya terhadap kalangan rasionalis yang banyak berkutat pada debat teologi:
“…Aku bukanlah seorang yang berkecimpung dalam ilmu kalam. Aku tidak menilai ilmu kalam, kecuali yang terdapat dalam Kitab Allah, sunnah Nabi Saw, atau dari ketetapan sahabat dan tabi’in. Adapun selain itu, membincangkannya merupakan perbuatan yang tak terpuji.”
Sikap ini diteguhkannya terus, meski mendapat hukuman berkali-kali, baik dicambuk maupun dipenjara. Pada masa Khalifah Al Mutawakkil, represi ini berakhir. Ia menghapuskan putusan seputar persaksian doktrin atas kemakhlukan Alquran.
Akibat represi yang lama terjadi ini, pemerintah bersimpati kepada Ahmad bin Hanbal. Namun sebagaimana dicatat Abu Nu’aim Al Ashbihani dalam Hilyat al Auliya,’ sosok besar ini menolak simpati dan hadiah dari pemerintah dengan halus.
Sebagai seorang ulama, karya peninggalan Ahmad bin Hanbal yang paling monumental adalah kitab Musnad Ahmad, dengan koleksi hadis di dalamnya sekitar 40 ribu hadis. Kitab hadis ini juga menunjukkan hadis-hadis yang digunakan oleh Imam Ahmad sebagai dasar hukum dan pondasi mazhabnya.
Beberapa kitab lain yang disusunnya adalah al-’Ilal, al-Tafsir, an-Nasikh wa al-Mansukh, az-Zuhd, al-Masa`il, Fadho`il as-Shahabah dan lainnya. Produk pemikiran Ahmad bin Hanbal juga diabadikan dalam catatan anak dan para muridnya.
Pada akhir hayatnya, Imam Ahmad bin Hanbal menderita sakit selama 10 hari, dan meninggal pada siang hari tanggal 22 Rabiul Awal tahun 241 H/855 M.
Berdasarkan keterangan adz Dzahabi dalam Siyar A’lam an Nubala’, ia dimakamkan setelah salat Jumat, dihadiri tak kurang dari 800 ribu orang dari banyak daerah. Ia dihormati atas capaian tinggi dalam kontribusinya untuk Islam, khususnya bidang fikih dan hadis.