Suatu ketika Nasruddin Hoja diundang ke sebuah perjamuan. Nasruddin mengenakan pakaian yang biasa-biasa saja dan berangkat ke sana. Setibanya di perjamuan itu, ternyata tidak ada yang memperdulikan dirinya. Segera saja ia pulang ke rumah untuk mengganti pakaiannya dengan yang paling baru dan paling mencolok.
Ia bahkan mengenakan jubah bulunya. Kemudian Nasruddin kembali ke rumah tempat perjamuan tersebut. Begitu mereka melihat Nasruddin di depan pintu dan langsung disambut dengan penuh hormat.
Mereka membawanya ke atas dan mempersilahkan Nasruddin duduk di tempat yang khusus disediakan bagi tamu kehormatan. Hidangan yang terbaik juga disajikan untuk Nasruddin.
Tiap kali ada sajian makanan yang disuguhkan kepadanya, Nasruddin Hoja akan memegang kerah jubah bulunya dan berkata dengan penuh rasa sayang:
“Makan, jubah buluku, makan!”
“Hoja, kenapa kau bertingkah begitu? Memangnya jubah bulu bisa makan?” tanya orang-orang keheranan dengan tingkah Nasruddin Hoja.
“Habis bagaimana lagi? Tuan rumahnya menyuguhkan berbagai hidangan ini untuk jubah buluku. Makanya aku memperingatkan dia supaya tidak membuat masalah nantinya.” jawab Nasruddin.
Merenungi cerita tersebut, betapa kita saat ini begitu sering menilai seseorang hanya dari penampilannya saja. Itulah yang kemudian oleh Nasruddin dikritik dalam ceritanya. Saat kita lebih menghargai orang karena penampilannya/kekayaannya, maka sejatinya kita lebih menghormati uang/harta dan merendahkan manusia. Penghormatan kepada manusia, kaya maupun miskin seharusnya sama.
Dan nampaknya kritik Nasruddin itu sejalan dengan ayat suci Al-Qur’an surat Ad-Dhuha ayat 9-10 yang berbunyi:
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ (9) وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ (10)
“Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang (9) Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya (10)”
Sebenarnya yang dimaksudkan dengan anak yatim dan peminta-minta di sini tidak berhenti kepada keduanya, melainkan kepada orang-orang yang nasibnya memiliki kesamaan dengan anak yatim dan peminta-minta.
Semoga kita dapat berbuat adil sejalan dengan kritik kesetaraan yang ada didalam kisah Nasruddin Hoja.
Wallahu A’lam.