Dari sekian banyak karakter antogonis yang dikisahkan oleh Al-Qur’an, Abu Lahab adalah satu-satunya karakter yang dikisahkan dalam satu surat. Tak hanya dia seorang, istrinya pun diabadikan dalam QS. al-Lahab. QS. al-Lahab ini syarat dengan nuansa simbolik.
Lantas apakah kebinasaan Abu Lahab—bahkan dalam ayat lain—Tuhan menjanjikan baginya neraka lantaran menolak ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad menjadi satu-satunya penyebab? Tentu tidak.
Mari kita flash back ke masa sebelum turunnya ayat ini. Dalam tradisi Mekah, jabatan bergengsi di lingkungan Ka’bah dikategorikan sebagai berikut; hijābah (penjaga pintu ka’bah), siqāyah (bertanggungjawab menyediakan air tawar dan minuman keras), rifādah (penyedia makanan), nadwah (pemimpin rapat tiap tahun musim), liwā (panji pasukan tentara), qiyādah (pimpinan pasukan perang).
Ayahandanya (Abd al-Muttalib) merupakan salah satu saudagar sukses dan menjabat posisi penting di dalam struktur Mekah yaitu; rifadah dan siqayah (penanggungjawab sektor air dan makanan).
Mekah telah berkembang menjadi pusat perdagangan yang penting. Mekah menjadi makmur karena lokasinya berada pada rute strategis dan menguntungkan dari Arabia Utara ke Arabia Selatan; Mekah menjadi jalur utama perdagangan dan menjadi pusat pertemuan para pedagang dari kawasan Laut Tengah, Teluk Parsi, Laut Merah melalui Jeddah, bahkan dari Afrika. Selain itu, Mekah dikunjungi oleh banyak jamaah yang berkunjung ke Ka’bah tiap kali musim ziarah tiba.
Abu Lahab adalah nama julukan. Nama aslinya ‘Abd al-‘Uzza ibn ‘Abd al-Muṭṭalib, salah satu paman Nabi Muhammad. Abu Lahab diperkirakan lahir sekitar tahun 539 atau 540 M. Ketika Muhammad diutus nabi dan rasul (tahun 610 M), usia Abu Lahab diperkirakan 70 tahun. Dengan demikian Abu Lahab sudah memiliki pengaruh besar dan status sosial tinggi di Mekah jauh sebelum Islam hadir.
Hal menarik adalah di balik namanya. Jauh sebelum QS. Al-Lahab turun, pada mulanya nama Abu Lahab berkonotasi positif. Masyarakat Quraisylah menjuluki ‘Abd al-‘Uzza ibn ‘Abd al-Muṭṭalib dengan Abu Lahab karena ketampanannya. Keterangan tersebut disadur dari Lisān al-‘Arab karya Ibn Manzur.
“Wa qīla kuniya Abū Lahab bi jamālihi,” tulis Ibn Manzur
Quraisy Shihab dalam tafsir al-Misbah, mendeskripsikan sosok ‘Abd al-‘Uzza ibn ‘Abd al-Muṭṭalib sebagai seorang yang tampan, berkulit putih, dan memerah rona wajahnya jika terkena sinar matahari.
Deskripsi di atas menunjukkan kepada kita bahwa Abu Lahab adalah seorang pria baik jauh sebelum QS. Al-Lahab hadir. Artinya selain dirinya berketurunan darah biru, dia juga dianugerahi fisik dan ketampanan yang mumpuni.
Namun pada tahun keempat setelah kenabian (tahun diturunkannya QS. Al-Lahab), seketika itu nama Abu Lahab menjadi buruk, bahkan di benak kebanyakan umat muslim, predikat ahli neraka melekat pada diri Abu Lahab hingga saat ini.
Dalam asbāb al-nuzūl, QS. al-Lahab ini erat kaitannya dengan peristiwa pada periode awal dakwah terbuka Nabi Muḥammad di Mekah yang mendapat tantangan dan perlawanan dari berbagai elit aristokrat dan pemuka Mekah. Di antara mereka yang paling lantang bersuara adalah Abu Lahab.
Kejadian tersebut melatarbelakangi turunnya QS. al-Lahab yang diperkirakan terjadi pada tahun IV setelah kenabian. Abu Lahab memberikan peringatan keras terhadap Nabi Muhammad agar berhenti menyebarkan ajaran-ajaran Islam. Dia menganggap bahwa ajaran Islam bisa merontokkan semua harta serta kedudukan dan jabatan yang dia raih. Oleh sebab itu Abu Lahab melakukan segala upaya untuk menghentikan misi Nabi Muhammad.
Sekedar informasi, Mekah sudah mengalami kemajuan ekonomi dan perniagaan tapi para hartawan ini lupa diri hingga melakukan hal-hal di luar kewajaran kemanusiaan.
Catatan H. A. R. Gibb memberikan ilustrasi sisi gelap Mekah. Menurutnya, kejahatan yang dilakukan oleh pedagang kaya adalah hal biasa, begitu juga kesenjangan yang amat jauh antara kaya dan miskin, perbudakan dan persewaan manusia dan tajamnya pertentangan atas ketidakadilan sosial.
Pelajaran dari Kisan Abu lahab dan Kebangsaan Kita
Menurut Ibn ‘Asyur, Al-Qur’an menggunakan gelar tidak menyebut namanya secara tegas, yaitu Abd al-‘Uzza, karena ‘Uzza adalah salah satu nama berhala yang disembah kaum musyrikin. Beginilah Al-Qur’an menghargai sesembahan umat beragama lain. Bahkan dalam surat lain, Al-Qur’an tidak menghendaki cacian untuk sesembahan umat beragama.
Argumentasi Ibn ‘Asyur tersebut kemudian diafirmasi oleh Mutawalli al-Sya’rawi. Mutawalli al-Sya’rawi yang mengemukakan semacam kaidah, yaitu jika al-Qur’an menunjuk seseorang dalam salah satu kisahnya dengan nama aslinya, itu mengisyaratkan bahwa hal serupa tidak akan terjadi lagi. Tapi jika menyebut gelarnya—seperti Fir‘aun—mengisyaratkan bahwa kasus serupa dapat terulang kapan dan di mana saja.
Argumentasi ini serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Muḥammad ‘Abduh bahwa Abu Lahab-Abu Lahab baru yang menentang ajaran Islam dan melecehkan Nabi Muhammad dapat kapan saja muncul di tempat dan waktu yang lain.
Dewasa ini terjadi banyak provokasi di dunia maya maupun di dunia nyata. Media sosial jadi corong penyebaran isu, fitnah, caci maki dan hoaks. Fenomena hoaks (berita bohong) diproduksi untuk menjatuhkan satu pihak demi memenangkan kepentingan pihak lain. Sangat menyedihkan, tak jarang orang-orang memproduksi dan menyebarkan hoaks atas nama agama.
Tentu bagi bangsa Indonesia yang memiliki masyarakat majemuk, peristiwa-peristiwa di atas merupakan ancaman yang nyata. Jika pemerintah dan aparat penegak hukum lambat, tak menutup kemungkinan akan terjadi peristiwa hal serupa. Ibarat dua sisi mata uang, medsos memberikan dampak positif dan negatif.
Medsos memberikan kontribusi besar bagi tersebarnya informasi- informasi bohong. Hanya hitungan detik hoaks akan sampai ke banyak grup WA (Whatsapp). Jika berita-berita bohong itu dipercaya dan diyakini, akan semakin menyalakan sumbu-sumbu api permusuhan antar umat beragama.
Mereka sesungguhnya telah menggadaikan kesucian agama untuk memenuhi syahwat kekuasaan. Kita tentu tidak mengharapkan kemunculan Abu Lahab-Abu Lahab baru atau menciptakan Abu Lahab lain hadir di tengah masyarakat kita demi memuluskan niatnya ke singgasana kekuasaan, bukan?
Wallahu A’lam.