Permasalan tawassul itu membuat masyghul umat Islam: antara hal yang sifatnya hanya cabangan (far’iy) belaka atau hal yang fundamental (ashliy). Nyatanya, ia menjadi satu pisau yang amat tajam mengiris tubuh umat, dan memilahnya dalam dua domain: mana yang tergolong Islam secara murni-tauhid dengan yang kafir-musyrik.
Padahal tawassul adalah sebentuk “cara” mengajukan mohon pada Tuhan. Ia menggunakan mediasi tertentu: nama Tuhan yang baik (al-asmâ` al-husna), amal saleh, atau dengan perantara Nabi Muhammad dan orang-orang yang diyakini punya kedekatan khusus; waliyullah. Yang terakhir inilah yang kerap menjadi medan perdebatan panas.
Pihak kontra seringkali membuat analogi dengan amalan orang Jahiliyah. “Mâ na’buduhum illâ liyuqarribûnâ ilallâhi zulfâ,” demikian kata para penyembah berhala itu, diabadikan dalam QS 39:3. “Kami tidak menyembah mereka [berhala-berhala itu] kecuali agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.”
Silogismenya pun menyisakan kesan simplistis: umat Islam yang memerlukan perantara dalam berdoa adalah sama dengan orang-orang Jahiliyah yang menjadikan berhala sebagai mediasi—sekalipun itu Nabi atau wali. Bukankah Allah itu dekat sehingga tak perlu perantara?
Analogi itu layak kita kritik. Ayat yang laris dijadikan bahan untuk menyudutkan pihak pro-tawassul itu tidak baik kiranya jika dipotong di tengah-tengah. Lanjutan ayat itu meninggalkan signifikansi makna yang berbeda. Boleh jadi, dan besar kemungkinannnya, orang-orang Jahiliyah hanya berdusta dengan ucapan apologis itu. Kaum Jahiliyah menggunakan kata-kata itu dengan maksud politis: mengerem “kampanye” Nabi.
Sebagaimana yang ditulis Fakhuddin ar-Razi (1149-1209) dalam Mafâtih al-Ghaib. “Para penyembah berhala itu meyakini bahwa Allah terlalu agung bagi mereka, maka manusia selayaknya hanya meminta kepada wakil-wakilnya di bumi.” Para berhala itu, bagi kaum Jahiliyah, adalah “wali” Tuhan, dan bahwa “wali” itu sendirilah yang memberi manfaat atau mudarat.
Sementara pihak kontra-tawassul sendiri jarang melakukan konfirmasi. Para pengamal tawassul tidak menganggap sesuatu yang dijadikan mediasi sebagai tempat meminta. Karena jelas: ia hanya perantara. Perantara bukan tujuan, tentu saja. Benar kata Fakhruddin ar-Razi itu: “Allah menganjurkan memakai perantara setelah kita iman.”
Lagipula, dalil yang menganjurkan mencari perantara lebih bernada imperatif. “Ibtaghû ilaihi al-wasîlah” kata QS 5:35. “Carilah perantara menuju-Nya.” Beda dengan dalil yang dipakai pihak kontra-tawassul itu: ayat itu lebih bersifat informatif-indikatif. Redaksi suatu teks (nash), dalam kajian ushûlul-fiqh, menentukan seberapa kuatnya hukum yang dimunculkan dari teks itu.
Ar-Razi menyebutkan perantara (wasîlah) itu berupa perbuatan baik, amal saleh. Ingatlah tentang hadits Nabi yang cukup masyhur, menceritakan tiga orang yang terkurung dalam goa, lalu mengajukan permohonan agar bisa segera keluar darinya dengan wasilah amal-amal saleh mereka yang telah lalu. Dan mereka sukses keluar.
Ar-Razi memang tidak menyebut bahwa satu diantara bentuk wasîlah itu adalah dengan menjadikan Nabi dan wali sebagai perantara. Mungkin saja, itu karena fenomena hujatan terhadap tawassul belum muncul di zamannya. Para kaum kontra-tawassul baru muncul kurang lebih 200 tahun belakangan.
Pun demikian, definisi al-‘Abdari dalam asy-Syarh al-Qawîm itu perlu kita catat di sini—dan saya yakin, definisi yang senada ada di banyak kitab klasik. Dalam tulisannya, tawassul adalah: thalabu hushûli manfa’ah aw indifâ’ madharrah bi dzikri ismi nabiyyin aw waliyyin ikrâman li al-mutawassal bihi [meminta manfaat atau menghindari mudarat dengan menyebut nama Nabi atau wali untuk memuliakannya]. Kata “memuliakan” perlu kiranya digarisbawahi.
Memuliakan bukan menjadikannya sebagai tempat meminta. Dengan menggunakannya sebagai perantara, seakan kita menisbahkan diri padanya, bahwa kita termasuk pengikutnya. Dan, dengan demikian, bisa memudahkan terkabulnya doa itu. Meminjam bahasa yang dipakai Cak Nun, “Shalawat iku gondelan klambine kanjeng Nabi.”
Perantara dengan penyebutan nama, tak lain, sama dengan perantara obat bagi orang sakit, sama-sama sebagai upaya untuk memudahkan tercapainya hajat. Bagi kredo Islam, terutama yang dari arus utama, bukan obat itu yang menyembuhkan si sakit. Tapi, hakikatnya, Allah yang menyembuhkan dengan memberi daya menyembuhkan dalam obat itu. Jadi, obat, dan segala upaya manusia lainnya, baik gerak maupun ucapan, adalah perantara dan sebab bagi takdir Allah. Dan doa tak bisa dikecualikan darinya.
Lalu, apakah tawassul adalah sebentuk hal baru dalam agama, heresy, bid’ah? Saya tidak ingin berpanjang-panjang dengan menukil semua praktek amaliah tawassul oleh ulama-ulama klasik di sini.
Cukuplah saya nukil satu syair Asy-Syafi’i, sebagaimana termaktub dalam Diwan-nya, qafiyah ta`: Alun-Nabiy dzari’atî; Wahumu ilaihi wasilatî; Arju bihim u’tha ghadan; biyad al-yamîn shahîfatî (Keluarga Nabi adalah perantaraku; Mereka adalah wasilahku; Dengan perantara mereka, aku berharap; Catatan amal kan diberikan ke tangan kananku).