Salah satu hadits menyebutkan bahwa Baginda Nabi Muhammad SAW melihat salah seorang sahabatnya memiliki sisa umur yang tinggal 15 hari. Maka oleh Rasulullah SAW., sahabat tersebut diajak berkunjung ke rumah-rumah sahabat lain untuk meminta maaf dan meminta doa. Tepat 15 hari kemudian, malaikat Izrail (pencabut nyawa) tak kunjung datang, malah malaikat Jibril yang menemui Baginda Nabi.
“Karena engkau mengajak sahabat itu bersilaturahmi kepada para sahabat, maka umurnya dipanjangkan Allah menjadi 30 tahun.” Tandas Jibril kepada Baginda Nabi.
Umur adalah rejeki Allah, hanya Allah sendiri yang menuliskannya. Jika manusia mendapat rejeki, sudah seharusnya ia bersyukur. Banyak orang yang mengucap Alhamdulillah (segala puji hanya milik Allah), tapi hanya selesai di bibir saja. Memang mengucapkannya mudah, sebagai ucapan terimakasih kepada Allah, namun sadar atau tidak ucapan seperti itu tidak sebanding jika disejajarkan dengan segala rejeki yang diberikan oleh Allah. Jangankan kepada Allah, mengucapkan terimakasih kepada sesama manusia saja masih tidak imbang jika dibanding bantuan yang diberikan. Manusia memang tidak bisa sepersis apa membalas jasa yang bukan sekadar ucapan terimakasih (Baca: Putus Cinta dari Allah)
Di dalam kalimat Alhamdulillah terdapat 4 (empat) macam kata: segala-puji-milik-Allah. Lillah artinya milik Allah, bukan bagi Allah. Karena pujian (al-hamd) itu memang hanya milik Allah. Pujian manusia itu tidak akan pernah berpengaruh apapun kepada Allah (tidak untung jika dipuji dan tidak rugi jika tidak dipuji), meskipun manusia dahulu kala tidak diciptakan oleh Allah, maka Allah sudah memiliki pujian mutlak. Tidak perlu manusia agar pujian itu menjadi milik Allah.
Setelah manusia diciptakan Allah, ia diperintah untuk menghamba kepada-Nya. Ibadah tidak hanya untuk tahu Allah, tapi mengenal Allah. Tahu tidak sama dengan kenal. Kita dekat dengan Walikota/Gubernur, jika mengenal Walikota/Gubernur beneran maka kita akan mengetahui apa yang dilakukan Walikota/Gubernur itu, bagaimana cara Walikota/Gubernur membangun sebuah kota/daerah, dari atas sampai bawah, dan seterusnya. Sejauh mana cinta kita kepada kota/daerah harusnya mengetahui kinerja Walikota/Gubernur tadi. Kemudian ke level atasnya lagi, kita mengenal presiden Indonesia, apa yang dilakukannya, apa yang ia tempuh untuk membangun Indonesia, maka kita akan ke level selanjutnya untuk mengenal Indonesia. Setelah mengenal Indonesia, maka kecintaan kita akan Negara ini menjadi lebih besar (Baca: 5 Amalan Muslim Agar Selamat di Akhir Zaman)
Logika ini berlaku untuk mengenal Allah. Mengenal Allah berarti mengenal bahwa Dia adalah pemilik segala kesempurnaan (maushufun bikulli kamalin), Yang Suci dari segala hal yang cacat (munazzahun ‘an kulli naqsin), berwenang melakukan yang Dia suka (ja`izun lahu fi’lu kulli mumkinin), atau tidak melakukannya (aw tarkuhu), dan kesuciannya tidak berkurang tergantung makhluk-Nya. Seharusnya kan jika sudah mengetahui ini, maka kita harus lebih mengenal Allah. Jika sudah mengenal Allah, maka kecintaan kita kepada Allah akan muncul; dengan melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (imtisal al-awamir wa-jtinab al-nawahi).
Pujian ada 4 (empat) macam: pertama, pujian Allah kepada Allah (qadim ‘ala qadim); Kedua, pujian Allah kepada makluk (qadim ‘ala hadits); Ketiga, pujian makhluk kepada Allah (hadits ‘ala qadim); Keempat, pujian makhluk kepada makhluk (hadits ‘ala hadits).
Pujian (hamd) yang disebutkan di atas adalah yang pertama, dan pujian kedua dapat diambil dari firman Allah: Qul in kuntum tuhibbunAllah, fattabi’uni (“Katakankah, Hai kekasihku (Muhammad): ‘jika kalian mencintai Allah, maka ikutlah aku!’”). siapa “aku” dalam kalimat “ikutilah aku” ini? Tidak lain adalah: laqad ja`akum rosulun min anfusikum (sungguh benar-benar telah datang kepada kalian seorang rasul dari golongan kalian). “Ikutilah aku” di sini adalah orang yang dipuji Allah dengan: azizun ‘alaihi ma ‘anittum (berat terasa olehnya penderitaanmu), harishun ‘alaikum (sangat menginginkan [keimanan dan keselamatan] bagimu), bil-mu`minina ra`ufun Rahim (amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin).
Pujian (hamd) yang keempat, yaitu makhluk kepada makhluk, dapat dilihat dari wujud cinta yang hakiki dari contoh agung umat manusia. Ketika Baginda didatangi Izrail (malaikat pencabut nyawa), beliau bertanya “Apakah sesakit ini rasanya dicabut nyawa?” dan di akhir perkataan Baginda Nabi berkata: “Cukuplah biar aku saja yang menanggung rasa sakit ini, dan jangan sampai umatku merasakannya pula.” Mari kita lihat Rasulullah, berapa kali beliau mengucap ummati, ummati, ummati (umatku, umatku, umatku) hingga harapannya adalah tidak ada satupun umat dan anak cucunya masuk neraka dan tercerai-berai? (Baca: Nabi Muhammad SAW Melindungi Tanah Air dari Segala Ancaman)
Baginda Nabi sangat mengkhawatirkan umatnya, kita semua, jangan sampai terpecah. Kadar bobot keimanan seseorang ditakar dari kadar kecintaannya kepada Baginda Nabi. Jika bobotnya kurang, umat Islam akan menipis imannya. Jika sudah menipis, dimasukkan apa saja jadi gampang, dan mau dihancurkan jadi mudah. Artinya, jika ingin menghancurkan umat Islam maka hal ini sangat mudah; yaitu dengan melunturkan kecintaannya kepada Nabi. Maka dirobohkanlah sosok Baginda Nabi bahwa ia adalah makhluk yang biasa (naudzubillah), sehingga meyakini bahwa ia adalah bukan sosok yang luar biasa , kemudian menjadi tidak ada. Sehingga pujian (hamd) yang ketiga, yaitu pujian makhluk kepada Allah (hadits ‘ala qadim) akan terputus, karena hanya melalui Baginda Nabilah manusia dapat mengetahui bagaimana cara yang benar memuji Allah sebenar-benarnya pujian. (RA)
Sumber: http://www.habiblutfi.net/index.php/artikel/item/513-sahabat-yang-berumur-pendek-dan-hakikat-pujian-pujian