Pada abad ke-18 konsep penjara yang cukup dikenal di Eropa adalah desain karya Jeremy Bentham bernama Panopticon. Desain tersebut memperlihatkan sebuah konsep penjara keliling di mana menara pengawas berada di tengah-tengahnya. Di menara pengawas itu, sipir penjaga akan dengan leluasa melihat para tahanan berikut aktivitas yang dilakukan. Jika ada perilaku yang ‘melenceng’, para sipir akan menindaknya agar para tahanan kembali normal.
Foucault kemudian mengambil konsep penjara itu untuk membicarakan situasi di mana masyarakat saling mengawasi dan menggunakan kekuatan dominasinya untuk melakukan normalisasi. Efeknya bermacam-macam, di antaranya adalah muncul tatapan yang tidak setara pada kelompok-kelompok tertentu yang dianggap tidak normal dan butuh didisiplinkan.
Di artikel ini saya tidak akan membahas panjang lebar mengenai teori yang diluncurkan oleh Foucault tersebut. Tetapi saya akan meminjamnya untuk melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Apalagi yang bersinggungan dengan keyakinan, orang akan melakukan berbagai upaya normalisasi mengatasnamakan kebenaran.
Salah satu hal yang saya sorot adalah pernyataan seorang tokoh dari sebuah kelompok yang mengatakan bahwa terjadinya bencana beberapa waktu belakangan adalah teguran dari Allah SWT karena manusia melakukan penzaliman kepada seorang ‘ulama’.
“Baru ditetapkan sebagai tersangka, Allah datangkan gempa bumi”. Begitu kurang lebih pernyataan tokoh tersebut. Sekilas pernyataan tersebut mengingatkan agar warga bisa bersikap arif terhadap semua orang. Akan tetapi, pernyataan tersebut menjadi terlihat arogan jika menghilangkan keterlibatan akal dalam menilai sebuah fenomena.
Meminjam ‘tangan’ Tuhan untuk menyebut penyebab sebuah peristiwa berdasar kepentingan pribadi justru mendangkalkan pemahaman seseorang terkait agama itu sendiri. Jika banyak orang awam mempercayai bahwa peristiwa gempa adalah jawaban Tuhan atas penzaliman kepada seseorang, efek paling nyata adalah terciptanya ketakutan-ketakutan bagi warga negara untuk melakukan tindakan-tindakan objektif, terutama penegakan hukum.
Efek lanjutannya adalah pengkultusan pada sosok tersebut karena dianggap sakti. Tentu saja hal ini tidak dibenarkan dalam ajaran agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban.
Saya ingat pada tahun 2004 silam setelah terjadinya tsunami di Aceh, beredar video yang menyebutkan bahwa bencana alam di sana terjadi akibat banyaknya maksiat. Tidak ada argumentasi bahwa alam memiliki fase-fase tertentu yang mengakibatkan bencana bisa datang, misalnya patahan lempengan.
Saya sangat percaya dengan video tersebut dan efeknya justru menyalahkan masyarakat Aceh karena dianggap banyak maksiat. Di sinilah letak berbahayanya klaim-klaim yang seolah sangat agamis tetapi pada kenyataannya menghina agama karena meniadakan akal sehat untuk menilai sebuah fenomena. Padahal Allah selalu mengingatkan manusia untuk berpikir. Afalaa ta’qilun. Afalaa tadzakkaruun…
Pendisiplinan semacam ini bukannya memperkuat keimanan seseorang, justru membuat umat kembali ke era kejumudan di mana sesuatu yang berasal dari akal selalu disalahkan sebagai bagian dari pengkhianatan terhadap hukum Tuhan. Sebuah situasi yang pernah dialami oleh masyarakat setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Saat itu manusia saling berperang karena saling menyalahkan dan mendakwa lawan tidak menaati kitabullah.
Padahal era kejayaan umat Islam dicapai karena para ilmuwan muslim begitu concern di bidang ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, algoritma yang menjadi dasar media sosial saat ini adalah penemuan agung dari seorang Al-Khawarizmi yang dikagumi oleh Mark Zuckerberg, pendiri Facebook.
Oleh karenanya penting bagi kita untuk mengampanyekan ilmu pengetahuan sebagai salah satu jalan memahami fenomena. Dengan ilmu pengetahuan seseorang bisa menjadi lebih bijak dalam merespons sebuah situasi tanpa menghakimi dan menatap korban sebagai penyebab atas fenomena yang terjadi.
Hal itu menghindari pendisiplinan yang tidak berdasar dan justru membawa agama berada di titik berlawanan dari nilai-nilai spiritualitas yang menjadi aspek fundamental agama itu sendiri. Wallahua’lam.