Diskursus keislaman tentang alam dan kegunaan anjing merupakan medan ketegangan yang terkait dengan peran sejarah, mitologi, rasionalitas, dan modernitas dalam Islam. Kenyataannya, perdebatan seputar kenajisan anjing, dan keabsahan memiliki atau hidup dengan hewan itu, adalah salah satu isu utama yang melambangkan dinamika antara hukum agama yang diwahyukan dan status penciptaan (alam). Selain itu, aspek-aspek tertentu dari perdebatan ini berada dalam semangat patriarki dan, lebih umum dari itu, konstruksi sosial terhadap elemen yang marjinal dalam masyarakat.
Sama dengan cerita rakyat abad pertengahan di Eropa, anjing hitam, khususnya, dipandang menakutkan dalam tradisi Islam.[1] Menurut salah satu hadis yang ternisbatkan pada Nabi Muhammad, anjing hitam ialah kejahatan, atau bahkan setan, yang berbentuk hewan.[2] Meskipun riwayat ini merefleksikan sebagian dari mitologi Arab pra-Islam, ia memiliki dampak tertentu pada hukum Islam. Sebagian besar ahli fikih beranggapan hadis itu keliru dinisbahkan kepada Nabi, dan karena itu, hadis itu apokrif (keasliannya diragukan). Namun demikian, banyak dari diskursus Islam yang terfokus pada hadis Nabi yang memerintahkan bahwa jika anjing, terlepas dari warnanya, menjilati suatu wadah, maka wadah itu harus dicuci tujuh kali, dengan taburan debu di salah satu basuhan [3]. Versi lain dari riwayat yang sama menerangkan bahwa wadah itu dicuci sekali, tiga, atau lima kali, atau menghilangkan redaksi perintah taburan debu.
Poin penting yang disampaikan dalam riwayat hadis itu ialah bahwa anjing adalah hewan yang najis, atau, setidaknya, bahwa air liur mereka adalah kontaminan yang menghalangi kesucian ritual seorang Muslim. Permusuhan terhadap anjing, bukan hanya dari segi kenajisan fisik tetapi juga moral, lebih jauh dinyatakan dalam hadis Nabi yang mengklaim bahwa malaikat, sebagai agen belas kasih dan pengampunan dari Tuhan, tidak akan masuk rumah yang memiliki anjing [4], atau bahwa memiliki anjing mengurangi pahala kebaikan seorang Muslim [5]. Bias budaya terhadap anjing sebagai sumber bahaya moral mencapai titik ekstrim dalam hadis yang menyatakan bahwa Nabi memerintahkan umat Islam agar tidak berbisnis anjing [6], dan bahkan membantai semua anjing, kecuali yang digunakan untuk menggembala, bertani, atau berburu.[7]
Berbagai hadis anti-anjing ini mengungkapkan kecemasan sosial, yang secara kultural telah mengakar, tentang aspek-aspek alam yang dipandang sebagai ancaman. Selain itu, wacana tentang anjing memainkan peran simbolis dalam upaya masyarakat pra-modern dalam menyelidiki batas-batas yang membedakan manusia dari hewan . Dalam hal ini, perdebatan tentang anjing menjadi media untuk merundingkan bukan hanya sifat anjing, tetapi juga sifat manusia.
Hal ini paling tampak dalam hadis-hadis yang menciptakan perhubungan simbolis antara unsur-unsur terpinggirkan dalam masyarakat, seperti non-Muslim atau perempuan, dan anjing. Dalam beberapa hadis tersebut diklaim, Nabi mengatakan bahwa anjing, keledai, perempuan—dan dalam beberapa versi, non-Muslim—jika lewat di depan lelaki yang sedang salat, bisa membatalkan salat itu.[8] Menariknya, otoritas Muslim perdana, seperti istri Nabi, Aisyah, memprotes keras hubungan simbolis antara anjing dan perempuan ini karena ia berimplikasi merendahkan perempuan. Sehingga sebagian besar ahli hukum Islam memutuskan bahwa hadis itu tidak asli, dan bahwa menyeberangnya wanita di depan para lelaki tidak membatalkan salat mereka.[9]
Meskipun ada penisbahan kepada Nabi tentang sejumlah besar hadis yang memusuhi anjing, banyak sarjana Muslim pra-modern, dengan berbagai alasan, menantang orientasi ini. Al-Qur’an, kitab suci Islam, tidak mengutuk anjing sebagai najis atau jahat. Selain itu, sejumlah besar riwayat perdana, yang mungkin mencerminkan praktik sejarah, bertentangan dengan hadis-hadis yang memusuhi anjing. Sebagai contoh, beberapa riwayat menunjukkan bahwa sepupu muda Nabi, dan beberapa sahabat memiliki anak anjing.[10] Laporan lain menunjukkan bahwa Nabi salat sementara ada seekor anjing bermain di sekitarnya.[11] Di samping itu, ada bukti sejarah yang cukup bahwa anjing berkeliaran bebas di Madinah dan bahkan memasuki masjid Nabi.[12] Sebagian hadis yang menarik dan ternisbahkan kepada Nabi juga menegaskan bahwa pelacur, dan dalam beberapa versi, seorang pria yang berdosa, memastikan tempat mereka di surga dengan menyelamatkan kehidupan anjing yang sedang sekarat kehausan di padang pasir.[13]
Kebanyakan ahli fikih menolak hadis-hadis yang memerintahkan pembunuhan anjing secara rekayasa (tanpa sebab yang diperbolehkan) karena, mereka beralasan, perilaku tersebut ialah penyia-nyian kehidupan. Para ahli fikih ini menyatakan bahwa ada presumsi yang melarang perusakan alam, dan mewajibkan perhormatan terhadap semua ciptaan. Setiap bagian dari alam tidak boleh dihancurkan tanpa alasan, dan tidak ada kehidupan yang boleh dibunuh tanpa sebab.[14] Bagi sebagian besar ahli fikih, meskipun konsumsi anjing sangat dilarang dalam Islam, tidak ada alasan untuk membantai anjing.
Selain persoalan membunuh anjing, para ahli hukum Islam juga tidak bersepakat tentang kebolehan memiliki anjing. Banyak ahli fikih membolehkan kepemilikan anjing untuk tujuan melayani kebutuhan manusia, seperti menggembala, bertani, berburu, atau demi keamanan. Mereka juga melarang kepemilikan anjing untuk alasan sembrono, seperti menikmati penampilan mereka atau sekedar ingin pamer.[15] Sebagian ulama merasionalisasi ketentuan hukum ini dengan menyatakan bahwa anjing membahayakan keselamatan tetangga dan para pejalan. [16] Bagi mayoritas ahli fikih, betapapun, soalan penting dalam hal ini bukan apakah halal hukumnya memiliki anjing, tetapi status kenajisan anjing. Mayoritas berpendapat mengenai persoalan apakah tubuh dan air liur anjing itu suci atau tidak. Jika anjing sebenarnya tidak suci maka mereka tidak bisa dimiliki kecuali ada kebutuhan serius untuk melakukannya.[17]
Adapun mengenai masalah kesucian, titik utama perdebatannya adalah apakah ada dasar rasional dalam perintah mencuci wadah jika disentuh atau dijilat oleh anjing.[18] Mayoritas ahli hukum menyatakan bahwa tidak ada dasar rasional untuk perintah ini, dan bahwa anjing, seperti babi, dianggap najis semata untuk menghormati teks agama. Namun demikian, cukup banyak ahli fikih yang tidak setuju dengan sikap ini. Para ahli fikih, terutama dari mazhab Maliki, berpendapat bahwa segala sesuatu yang ditemukan di alam dianggap suci kecuali terbukti sebaliknya, baik melalui pengalaman atau teks.[19] Dengan menentukan bahwa hadis-hadis yang disebutkan di atas tak cukup bisa diandalkan keasliannya sehingga mengatasi prinsip hukum asal kesucian, mereka berpendapat bahwa anjing adalah hewan yang suci. Oleh karena itu, mereka bersikukuh bahwa anjing tidak membatalkan salat atau kesucian ritual seorang Muslim.[20]
Ahli fikih lain berpendapat bahwa perintah mensucikan bejana dengan dicuci beberapa kali dimaksudkan sebagai langkah pencegahan demi kesehatan. Ahli fikih ini berargumen bahwa hadis Nabi tentang masalah kenajisan itu hanya berlaku untuk anjing yang beresiko terinfeksi virus rabies. Dengan demikian, jika anjing tidak membawa kemungkinan rabies, ia dianggap suci.[21] Sejumlah kecil ahli fikih membawa logika ini lebih lanjut dalam menyatakan bahwa anjing di pedesaan itu suci, sedangkan anjing di perkotaan itu najis karena anjing perkotaan sering mengkonsumsi sampah.[22] Kelompok ahli fikih lain berpendapat bahwa kesucian anjing tergantung pada tempat tinggalnya: anjing perumahan dianggap suci karena manusia memberi makan dan membersihkan mereka, sementara anjing yang hidup di alam liar atau di jalan-jalan kota boleh jadi membawa penyakit dan, oleh karena itu, dianggap najis.[23] Hal ini tampak jelas dari evolusi wacana ini: bahwa saat alam kian terhadapkan pada pemahaman rasional, makhluk yang berpotensi berbahaya, seperti anjing, tak lagi jadi ancaman menurut para ahli fikih.
Selain dalam diskursus hukum, anjing menempati posisi yang rumit dipahami dalam budaya Muslim. Di satu sisi, anjing dalam kesusastraan Arab sering digambarkan sebagai simbol kebajikan yang sangat terhormat seperti pengorbanan diri dan loyalitas. Misalnya, Ibn al-Marzuban menulis sebuah risalah menarik berjudul “Keutamaan Anjing Dibanding Mereka yang Mengenakan Pakaian”, yang mengontraskan loyalitas dan kesetiaan anjing dengan pengkhianatan dan keplin-planan manusia (setelah saya googling, judul asli dalam bahasa Arab dari risalah Ibn al-Marzuban itu ialah “Fadhl al-Kilab ‘ala Katsirin min Man Labisa at-Tsiyab” –AAF). Anjing juga banyak digunakan untuk perlindungan, menggembala domba, dan berburu.
Di sisi lain, anjing sering digambarkan sebagai instrumen penindasan di tangan para penguasa lalim dan tidak adil. Serupa dengan praktek abad pertengahan Eropa, di wilayah Timur Tengah pra-modern, sebagai ungkapan penghinaan, terkadang anjing-anjing digantung atau dikubur bersama mayat para pembangkang atau para pemberontak.[24] Lebih jauh, dalam budaya populer, tidak seperti kucing, anjing dianggap hewan najis yang tidak seharusnya berbagi ruang hidup yang saleh nan religius. Purbasangka budaya anti-anjing ini bertahan hingga masa modern, dan sebagai imbasnya, kepemilikan anjing masih terus tak disukai.
Di dunia Muslim kontemporer, kepemilikan anjing hanya umum di kalangan Badui, para penegak hukum, dan orang-orang kelas atas yang kebarat-baratan. Sebagai sebuah kenyataan, agak mengejutkan bahwa, di dalam sangat banyak persoalan, umat Islam modern tidak menyadari determinasi hukum pra-modern yang membenarkan kesucian anjing. Di era pra-modern, hukum Islam berkembang sebanding dengan kemajuan yang dicapai pengetahuan manusia tentang alam. Tapi saat lembaga hukum Islam telah didekonstruksi oleh kolonialisme Eropa, dan dengan munculnya gerakan-gerakan puritan dalam Islam kontemporer, hukum Islam telah berhenti dari forum berpikir kreatif atau interaksi dinamis dengan luasnya semesta alam.
*) Khaled Abou El Fadl adalah profesor di University of California, Los Angeles (UCLA). Tulisan di atas diterjemahkan oleh Azis Anwar Fachrudin dari artikel aslinya yang berjudul "Dogs in the Islamic Tradition and Nature". Artikel aslinya bisa diakses DI SINI.
————————–
[1] Barbara Allen Woods, The Devil in Dog Form: A Partial Type-Index of Devil Legends, vol. 11 of Folklore Studies (Berkeley: University of California Press, 1959), 33.
[2] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, ed. Samir al-Majzub (Beirut: Maktab al-Islami, 1993), 5:194, 197.
[3] Abu Zakariyya Yahya al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, 3rd ed. (Beirut: Dar al-Ma‘rifa, 1996), 3-4:174-5 ; Ahmad Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari, ed. Muhibb al-Din al-Khatib, 3rd ed. (Cairo: al-Maktaba al-Salafiyya, 1407 AH), 1:331 ; Shams al-Din al-Sarakhsi, Kitab al-Mabsut (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyya, 1993), 1-2:48.
[4] Muhammad ‘Abd al-Rahman al-Mubarakafuri, Tuhfat al-Ahwadhi bi Sharh Jami‘ al-Tirmidhi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilimiyya, n.d.), 8:72-73.
[5] Malik Ibn Anas, al-Muwatta’ (Egypt: al-Babi al-Halabi, n.d.), 2:969.
[6] Ahmad Ibn Shu‘ayb al-Nisa’i, Sunan al-Nisa’i (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, n.d.), 7: 309 (The commentaries by al-Suyuti and al-Sanadi are in the margins). Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, 4:426.
[7] Al-Nawawi, Sahih Muslim, 3-4:176, 9-10:479; Abu Bakr Muhammad Ibn al-‘Arabi, Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ma‘ruf, n.d.), 2:545-546; Muhammad Ibn ‘Ali al-Shawkani, Nayl al-Awtar Sharh Muntaqa al-Akhbar (Cairo: Dar al-Hadith, n.d.), 1-2:38; Abu ‘Abd Allah Muhammad al-Qurtubi, al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyya, 1993), 3:44; Abu Bakr Ahmad al-Jassas, Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyya, n.d.), 2:393; Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tafsir al-Tabari min Kitabihi Jami‘ al-Bayan ‘an Ta’wil ‘Ayat al-Qur’an, eds. Bashshar ‘Awad Ma‘ruf and Faris al-Harastani (Beirut: Mu’assasat al-Risala, 1994), 3:21, 523-524.
[8] Al-Nawawi, Sahih Muslim, 3-4:450-1; Ahmad Ibn Hanbal, Musnad, 5:194, 197, 202, 208; Abu Bakr Ibn al-‘Arabi, ‘Aridat al-Ahwadhi bi Sharh Sahih al-Tirmidhi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyya, n.d.), 1:133.
[9] See discussion in Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (Oxford: Oneworld Press, 2001), 226-8.
[10] al-Mubarakafuri, Tuhfat al-Ahwadhi, 8:74; Al-Nawawi, Sahih Muslim, 9-10:478, 480, 483.
[11] Al-Nawawi, Sahih Muslim, 3-4:465.
[12] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, 1:334.
[13] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, 1:333.
[14] Ibn al-‘Arabi, ‘Aridat al-Ahwadhi, 1:133-4; al-Nawawi, Sahih al-Muslim, 3-4:177, 9-10:479, 13:78; al-Qurtubi, al-Jami‘, 3:44; al-Shawkani, Nayl al-Awtar, 1-2:38.
[15] Al-Nawawi, Sahih Muslim, 3-4:176-7.
[16] Al-Nawawi, Sahih Muslim, 9-10:482.
[17] Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rushd II, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, (Beirut: al-Kutub al-‘Ilmiyya, 1997), 1:34-5; Taqi al-Din Ahmad Ibn Taymiyya, Majmu‘ Fatawa, ed. Muhammad ‘Abd al-Rahman Ibn Qasim, 2nd ed. (Riyadh: np, n.d.), 21:619-20.
[18] Sahnun Ibn Sa‘id, al-Mudawwana al-Kubra (Egypt: Matba‘at al-Sa‘ada, n.d.), 1:5; Ibn Rushd II, Bidayat, 1:33-4; Abu Bakr Ibn Mas‘ud al-Kasani, Bada’i‘ al-Sana’i‘ fi Tartib al-Shara’i‘ (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilimiyya, 1997), 1:375, 415.
[19] Ahmad Ibn Muhammad al-Dardir, al-Sharh al-Saghir ‘ala Aqrab al-Masalik (the commentary of Ahmad al-Sawi is in the margins) (Cairo: Mustafa al-Babi, 1952), 1:18.
[20] Khayr al-Din al-Munif, al-Fatawa al-Khayriyya li Naf‘ al-Bariyya (Cairo: Dar al-Ma‘rifa, n.d.), 2:15; Abu Muhammad ‘Abd Allah Ibn Ahmad Ibn Muúammad Ibn Qudama, al-Mughni (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, n.d.), 1:46; ‘Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm, Al-Muhalla bi al-Athar (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyya, n.d.), 1:120-2; Shihab al-Din Ibn Idris al-Qarafi, al-Dhakhira (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1994), 1:181-2; Zayn al-Din Ibn Muhammad Ibn Nujaym, al-Bahr al-Ra’iq Sharh Kanz al-Daqa’iq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyya, 1997), 1:225.
[21] Abu Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rushd I, al-Muqaddimat al-Mumahhidat, ed. Muhammad Hajji (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1988), 1:90-2.
[22] Ibn al-‘Arabi, ‘Aridat, 1-2:138; Ibn Rushd II, Bidayat, 1:36.
[23] Ibn Rushd I, al-Muqaddimat, 1:87-9; Ibn Rushd II, Bidayat, 1:35; Ibn al-‘Arabi, ‘Aridat, 1-2:134-7.
[24] Khaled Abou El Fadl, Rebellion and Violence in Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 53-7.