Ulama besar abad 11 M yang bergelar hujjatul Islam, Al-Ghazali, dalam Ihya ‘Ulumiddin (I:19) pernah berkisah. Suatu ketika Abu Yusuf, ulama besar mazhab Hanafi, memberikan seluruh harta kekayaannya kepada istrinya sendiri pada akhir haul (setahun) agar menggugurkan kewajiban zakatnya. Ketika menerima kisah itu, Abu Hanifah, guru dari Abu Yusuf sendiri, berkomentar: “Itu adalah pemahaman fiqhnya. Penglihatan fiqh dunia membenarkan tindakan itu. Tapi perbuatan itu akan mendatangkan petaka berat di akhirat.”
Itulah watak fiqh yang diakui pula oleh Al-Ghazali sebagai berwatak formalistik: kerap mengundang orang untuk melakukan manipulasi (hilah) terhadapnya. Bahkan oleh Al-Ghazali, fiqh digolongkan sebagai ilmu dunia, sebab watak lahiriahnya yang rentan disiasati.
Demikian pula pandangan “fiqh sosial” Kiai Sahal, Rais ‘Amm PBNU dan Ketua MUI (masing-masing lebih dari satu dekade) yang belum lama ini wafat di usia 76 tahun. Term “fiqh sosial” melekat pada figur Kiai Sahal, dan memang itulah warisan pemikirannya yang terpenting. Kiai Sahal diakui otoritasnya dalam bidang fiqh dan ushul fiqh (filsafat hukum Islam). Di antara karya monumentalnya, selain tulisan-tulisan berbahasa Indonesia yang mewacanakan paradigma fiqh sosial, juga kitab berbahasa Arab dalam kajian ushul fiqh: Thariqatul-Hushul. Kitab ini adalah hasyiyah (komentar/ catatan pinggir) terhadap kitab babon ushul fikih di pesantren-pesantren: Ghayatul-Wushul karya Zakariya al-Anshari (ulama mazhab Syafii abad 9 H).
Apa kaitan fiqh sosial dengan kisah singkat di atas? Ialah etika dan makna berfiqh. Fiqh sosial adalah perspektif yang memandang fiqh bukan sebagai hukum an sich, melainkan sebagai etika sosial yang menggerakkan. Fiqh sosial mengedepankan nilai hukum dalam terang maqashid as-syari’ah (tujuan syariat yang lima: menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan).
Fiqh sosial menolak sakralisasi produk fiqh. Kiai Sahal kerap menekankan dalam tulisan-tulisannya bahwa fiqh itu hasil perolehan (muktasab) pergulatan pemikiran yang bisa jadi efektif pada zamannya, tapi tak lagi relevan dengan perkembangan kekinian. Maka fiqh sosial menuntut adanya kontekstualisasi produk hukum—khususnya kitab kuning yang kerap jadi pegangan orang NU. Fiqh sosial menolak adanya jawaban mauquf (diam, tak memberikan jawaban) terhadap problem kekinian yang diajukan dalam bahtsul masail NU.
Fiqh Sosial memberikan interpretasi nilai-nilai hukum agama agar tak kering. Zakat misalnya, sebenarnya adalah ajaran Islam yang memiliki semangat keadilan sosial-ekonomi. Maka fiqh sosial menolak bila zakat semata berorientasi ibadah formal tahunan semata. Fiqh sosial juga menolak menjadikan hukum agama sebagai hukum positif negara. Sebab ia memang memaksudkan fiqh sebagai etika penggerakan kehidupan masyarakat. Di sini menariknya. Hukum Islam, di tangan Kiai Sahal, lebih hidup nilai filosofisnya ketimbang produk formalnya.
Bagaimana caranya? Secara metodologis fiqh sosial dapat dilakukan dengan mengintegrasikan hikmah hukum agama ke dalam ‘illat (ratio legis) hukum itu sendiri. Fiqh sosial menghendaki agar produk-produk parsial fiqh tak diperlakukan secara kaku lintas tempat dan zaman, tapi mesti peka dengan kondisi sosial. Ia terjadi, antara lain, dengan kembali pada prinsip general dan semangat syariah itu sendiri.
Bisa kita ajukan satu contoh di sini tentang, misalnya, bagaimana Kiai Sahal mengutarakan pemikiran terkait lokalisasi prostitusi. Menurut Kiai Sahal, prostitusi memang dilarang agama. Tapi sebagai persoalan sosial yang kompleks, prostitusi tak mudah dihilangkan. Dalam kondisi semacam ini, kita dihadapkan pada dua mafsadah (dua hal yang merusak); yaitu membiarkan prostitusi tak terkontrol. Maka kebijakan lokalisasi bisa dipandang sebagai pilihan terhadap yang paling ringan dari dua resiko yang menghimpit. Kaidah hukum yang dipakai dalam hal ini ialah: irtikab akhaff ad-dhararain (mengambil yang terringan mudaratnya dari dilema dua mudarat). [rujuk: KH MA Sahal Mahfudh,Nuansa Fiqh Sosial, 2012: xliv]
Masih banyak contoh-contoh produk fatwa Kiai Sahal yang menarik. Seperti pembolehan KB dan bank—dua hal yang sampai hari ini masih ada beberapa kiai NU yang menolaknya. Kiai Sahal telah memberikan warisan tentang bagaimana kita mesti melihat fiqh.
Salah satu manifestasi paradigma fiqh sosial dalam pergulatan internal NU ialah pada Munas Lampung 1992: menganjurkan NU agar mengikuti mazhab dan menyerap hukum secara metodologis (manhaji), ketimbang tekstual (qauli) sebagai bagian dari kontekstualisai dengan zaman.
Sayangnya, di tubuh NU, paradigma fiqh sosial ini belum banyak menjadi ilham untuk memecahkan persoalan kekinian. Bahtsul Masail NU sampai kini tak sedikit yang masih terperangkap dalam taklid secara tekstual pada kitab yang ditulis berabad lampau. Maka, untuk melanjutkan warisan dari Kiai Sahal, NU perlu meneruskan “proyek” fiqh sosial yang telah digagas Kiai Sahal itu.
*) Artikel ini pertama kali dimuat di Koran Tempo (27/01/2014)