Mengenal Abu Rayyah, Kritikus Hadis Asal Mesir

Mengenal Abu Rayyah, Kritikus Hadis Asal Mesir

Mengenal Abu Rayyah, Kritikus Hadis Asal Mesir

Data mengenai biografi Abu Rayyah tidak banyak bisa diakses, baik dari literatur buku maupun dari internet. Intinya Abu Rayyah adalah seorang pemuda yang penuh semangat dalam mengkaji kegerahan yang sangat ketika ia membaca literatur yang beredar di kalangan umat Islam.

Dalam sebagian sumber dijelaskan bahwa Abu Rayyah, yang bernama lengkap Mahmud Abu Rayyah lahir di Mesir pada 1889 dan meninggal tahun 1970 dalam usia 81 tahun.

Juynboll dalam bukunya The Authenticity of the Tradition Literature Discussions in Modern Egypt yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Kontroversi Hadis di Mesir menyebutkan bahwa karir Abu Rayyah bermula dari kekagumannya terhadap Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Abu Rayyah adalah murid di Madrasah Al-Dakwah wa al-Irsyad lembaga dakwah Muslim yang didirikan oleh Ridha. Abu Rayyah juga mengikuti berbagai kursus di sebuah sekolah teologi di dalam negeri. Yang paling menarik dan mungkin pengaruh dari kedua tokoh ini adalah penolakannya terhadap taqlid, khususnya taqlid mazhab.

Berlangsungnya sikap stagnan (jumud) para ulama masa itu dan tidak adanya inovasi baru dari mereka, ulama-ulama al-Azhar, dalam melakukan studi terhadap literatur hadis, selain hanya berkutat seputar Fiqh al-Madzahib al-Arba‘ah, membuat Rayyah merasa muak sehingga ia tertarik untuk melakukan penelitian tanpa perlu secara otomatis tunduk kepada teori-teori para ulama sebelumnya, dengan tujuan menerobos rintangan taqlid yang menurutnya dapat merusak.

Setelah mengabdikan masa mudanya untuk studi kesusastraan Arab, Rayyah menemukan beberapa hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yang penafsirannya membuat ia heran. Salah satu hadis ini berbunyi seperti berikut: “Bila setan mendengar seruan untuk shalat (adzan) maka dia lari seraya terkentut-kentut.”

Salah satu bentuk redaksi hadis yang dimaksud adalah:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ جَعْفَرٍ عَنْ الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم إِذَا أُذِّنَ بِالصَّلَاةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ أَدْبَرَ فَإِذَا سَكَتَ أَقْبَلَ فَلَا يَزَالُ بِالْمَرْءِ يَقُولُ لَهُ اذْكُرْ مَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى لَا يَدْرِيَ كَمْ صَلَّى

Meskipun Shahih menurut sanadnya, akan tetapi secara etika Hadits tersebut sulit untuk diakui. Rayyah merasa bahwa Nabi saw tidak mungkin mengucapkan kata-kata remeh dan kasar seperti itu. Yang membuatnya heran adalah sabda-sabda yang konon berasal dari Nabi saw tidak memiliki retorika penuh bunga yang sering dijumpainya dalam berbagai tulisan. Karena figur seorang Abu Hurairah dan literatur hadis, maka tergugahlah rasa ingin tahunya.

Bergeser dari temuan-temuannya dalam Hadits riwayat Abu Hurairah, Abu Rayyah mulai mengkritik ulama-ulama yang melakukan studi literatur hadis hanya berkutat pada permasalahan fiqih empat madzhab. Abu Rayyah juga menyesalkan bahwa para ulama masih menggunakan kritik isnad sebagai satu-satunya pendakatan kritis terhadap hadis seperti yang lazim digunakan pada abad pertengahan. Hal ini membuktikan bahwa para ulama hadis tidak terlalu memperhatikan kritik tekstual atau kritik matan.

Kegelisahan Rayyah lain adalah adanya sikap ulama yang lebih tunduk kepada aturan fikih yang diturunkan dari sebuah hadis dibanding kepada hadis itu sendiri. Mereka tidak pernah mempertanyakan otentisitas sebuah perkataan yang diatributkan kepada Nabi; mereka dengan buta mengikuti ijma’ abad-abad sebelumnya. Mereka hanya mempersoalkan aspek-aspek remeh sebuah hukum yang sudah tidak lagi memiliki arti penting bagi kaum Muslim modern abad ke dua puluh.

Puncaknya pada tahun 1958, Rayyah menerbitkan sebuah buku yang ditujukan khusus pada kajian hadis Adwa’ ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah aw Difa‘ ‘an al-Hadis. Namun terbitnya buku ini justru menyulut kemarahan para cendikiawan muslim ortodoks karena mereka menganggap pemikiran Rayyah yang tertuang di dalam bukunya ini dinilai bersebrangan, terutama pembahasan mengenai Abu Hurairah,  sehingga mereka tergugah untuk memberikan respon atas tuduhan-tuduhan yang terdapat di dalamnya.