Gelombang kemajuan media digital di abad ke-21 membuat masyarakat bebas mengakses segala informasi. Termasuk di dalamnya ajaran-ajaran agama yang bisa diperoleh dengan mudah melalui media sosial. Dampaknya, semua orang bisa belajar dengan cepat tentang agama juga bisa dengan cepat menjadi seorang alim yang menyebarkan tentang ajaran agama melalui media sosial.
Video-viedo pendek ceramah di media sosial para ustadz, dalam hitungan menit bisa diviralkan dan ditonton ribuan orang. Semua ramai-ramai membagikan, tanpa mempedulikan background keilmuan dari figur yang dianggap alim. Belum lagi, isi-isi ceramah yang berhubungan pada kepentingan-kepentingan politik praktis.
Dalam kondisi demikian, kriteria seorang alim yang layak dijadikan guru menjadi terabaikan. Siapapun akan dengan mudah dianggap sebagai ulama tanpa standar-standar kelayakan sebagai seorang pewaris nabi. Di abad ke-19, kiai Sholeh Darat, seorang maha guru para ulama Nusantara, sudah memberikan syarat seseorang dianggap sebagai guru atau alim yang menjadi pengganti para nabi. Ini penting untuk diketengahkan sebagai pertimbangan saat masuk di belantara rimba dunia maya.
Dalam kitab Minhaj al-Atqiya’ kiai Sholeh memberikan syarat seorang guru atau alim sebagai berikut:
Pertama, menguasai ilmu Al-Quran dan Hadis. Modal penting seorang alim dalam menyampaikan ajaran-ajaran agama tidak cukup hanya sekedar tarjamah dari Al-Quran ataupun hadis. Dengan ilmu Al-Quran dan hadis ini seseorang dianggap memiliki perangkat dalam memahami sumber ajaran Islam dan terlepas dari bahaya pemahaman keagamaan yang cenderung tekstual yang mendasarkan pemahamanya pada terjemahan.
Kedua, menghindari hal-hal yang bersifat duniawi. Seorang alim yang mendidik umat, seyogyanya, apa yang disampaikan dan dilakukan tidak mengarah pada orientasi duniawi semata. Seorang alim yang layak dijadikan guru ialah alim yang menghindari riuh dan gegap gempitanya kedudukan dan jabatan. Alim yang demikian ini masih bisa dijumpai yang mendidik umat dengan tulus di pesantren-pesantren, surau-surau, di pelosok-pelosok desa. Dan yang paling penting, ia tidak meminta jabatan, namun jika dibutuhkan dan diminta untuk mengurus sesuatu, ia siap.
Ketiga, memiliki sanad keilmuan sampai Rasulullah. Tradisi ulama Nusantara sangat memperhatikan betul satu hal ini. Bahkan, kiai Sholeh menuliskan sebuah kitab al-mursyid al-wajiz untuk menjelaskan silsilah rantai keilmuannya. Ini penting dimiliki oleh seorang alim di era dimana rantai keilmuan terabaikan. Tujuannya sederhana, agar pemahaman keagamaan seseorang mendapat rujukan dan pertanggung jawab akademiknya.
Keempat, memiliki akhlak yang terpuji. Dampak negatif lainnya dari era keterbukaan informasi ialah ujaran kebencian dan absennya akhlak dalam menyampaikan ajaran agama. Fitnah, hoax, cacian dan makian muncul hanya karena alasan perbedaan pandangan agama dan politik. Kiai Sholeh menuntun kita agar lebih selektif kepada siapa kita hendak belajar agama dengan melihat akhlaknya dalam menyampaikan ajaran agama dan diantara akhlak yang baik adalah tawadhu’, sikap rendah hati, tidak mudah menyalahkan dan merasa paling benar sendiri.
Kelima, menjauhi penguasa (salathin wa umara’) dan membenci kekuasaan. Seorang alim yang baik ialah alim yang dibutuhkan penguasa, bukan sebaliknya. Hal ini dikarenakan konteks kehidupan kiai Sholeh dalam melihat penjajahan. bagaimana pemerintah kolonial dan penguasa lokal bersekutu melakukan penindasan. Meskipun begitu, seorang alim diperbolehkan mendekat penguasa jika dalam rangka memberi nasihat, melawan kedzaliman, dan menjenguk saat sakit dengan tetap menjaga hati dari tujuan-tujuan yang menarik untuk mencintai kekuasaan.
Keenam, membenci orang-orang yang melakukan penindasan. Syarat orang dianggap sebagai alim ialah kehadirannya dalam barisan masyarakat yang ditindas. Orang alim tidak akan berdiam diri di saat umatnya berjuang sendirian dalam memperjuangkan hak-haknya. Ia akan hadir di tengah diskrimansi atas nama agama. Ia akan bersolidaritas di saat masyarakat sedang dirampas lahan dan ruang hidupnya.
Menurut kiai Sholeh, keenam kriteria ini yang menjadikan seorang alim layak dijadikan panutan sebagai guru. Sebagai orang yang merasakan hidup di era generasi milenial, kriteria ini masih layak dijadikan pegangan untuk menentukan siapa alim yang layak dijadikan panutan atau tidak.
Wallahu a’lam bi as-showab.