Toleransi hak dan kewajiban dalam umat beragama telah tertanam dalam nilai-nilai yang ada pada Pancasila. Tanpa adanya sikap saling menghormati antara hak dan kewajiban maka akan muncul berbagai macam gesekan-gesekan antar umat beragama.
“….sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (Al Maidah, 48).
Kutipan ayat tersebut memiliki banyak penafsiran bagi siapa saja yang membacanya, tapi pastinya penegasan bahwa manusia tidak diciptakan secara sendiri saja. Manusia diciptakan bersama dengan manusia-manusia lainnya dengan bentuk dan karakter yang tentunya berbeda-beda. Hal ini tampaknya dimaksudkan agar manusia dapat saling belajar satu sama lain.
Doktrin eksklusivitas sampai hari ini masih dianut banyak kalangan umat Islam. Ayat yang digunakan seputar ayat-ayat yang ditafsir sempit dan cenderung tekstual. Misalnya seperti ayat: “Islam adalah agama yang paling benar” (Q, 3:19); “Agama selain Islam tidak akan diterima Tuhan di Akhirat” (Q. 3:85); termasuk seputar ayat yang berkaitan dengan konflik beradu kebenaran antara Islam, Yahudi, dan Kristen. Hal ini pada akhirnya berdampak pada munculnya kecurigaan antar umat beragama, yang tentunya memunculkan intoleransi di kalangan umat Islam.
Selain itu, yang membuat umat Islam semakin tertutup dan eksklusif adalah berkembangnya doktrin al-wala wal baro di kalangan umat Islam. Ayat maupun hadits banyak digunakan untuk menyudutkan kalangan atau agama tertentu.
Ayat-ayat yang memerintahkan agar membenci orang-orang non-muslim diambil tanpa mengikut-sertakan tafsir kontekstual dan konsep toleransi dalam Islam. Ayat-ayat semisal, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia …” (Al-Mumtahanah: 1) dan “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain” (Al-Anfal: 73), dijadikan legitimasi untuk menyerang dan melakukan intoleransi terhadap kelompok agama lainnya.
Setelah mengurai sekilas tentang hukum negara yang menjadi tempat asal kita berpijak dan bermukim, coba kita urai juga ‘pandangan islam’ bagaimana Al Quran dan hadits memaknai kebebasan beragama QS Al Baqarah:256 : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Islam memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap umat manusia untuk memilih atau menolak suatu agama tertentu, berdasarkan keyakinannya. Seseorang dipersilakan menjadi seorang muslim yang bersyukur, tunduk, dan patuh akan ketentuan Allah SWT atau menjadi seorang yang kufur, menolak dan menentang ajaran-Nya.
Hal ini sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam QS Al-Insaan:3: “Sesungguhnya kami telah menunjukkan jalan yang lurus, ada yang bersyukur, ada pula yang kafir. Bahkan ketika Rasulullah SAW memiliki keinginan kuat agar setiap orang beriman kepada Allah SWT, menjadi Muslim yang baik, dan bila perlu dengan pemaksaan dan tekanan.
Maka Allah SWT langsung mengingatkannya, dengan firman-Nya dalam QS Yunus: 99-100 : “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.
Memilih agama yang diyakini adalah murni sebuah hasrat yang terbentuk tanpa adanya paksaan dan pengaruh dari siapa pun, karena keyakinan adalah persoalan hati yang tidak dapat diukur dan diatur kemana pun ia berteduh. Apalagi agama merupakan sebuah hubungan antara manusia dengan Tuhan yang mempengaruhi hubungan manusia dengan manusia.
Agama secara bahasa berasal dari A yang berarti tidak dan Gama yang berarti rusak, dan agama berarti tidak rusak. Sebab pada dasarnya semua agama mengajarkan pada kebaikan dan kedamaian. Tidak ada agama yang mengajarkan pada kerusakan, kehancuran, dan keburukan. Maka dari itu saling menghargai dan menghormati merupakan salah satu wujud bahwa kita mencintai sesama manusia yang juga memiliki hak untuk hidup dan berpendapat.
Tujuan penting dari perlunya melakukan dialog antar agama selain untuk menumbuhkan pengetahuan yang lebih tentang agama-agama di luar agama yang kita miliki sendiri, juga untuk menumbuhkan kepercayaan dan penghormatan terhadapnya.
Namun perlu juga untuk diperhatikan, dialog tidak hanya berhenti dalam tataran perbincangan atau diskusi semata, karenanya perlu tindakan nyata sebagai manifestasi dari kepercayaan dan penghormatan itu. Sehingga sangat salah kiranya jika dialog digunakan sebagai ajang untuk memperkokoh truth claim. Juga tidak benar jika dialog hanya dianggap sebagai sebuah pembentukan wacana saja tanpa adanya gerak nyata.
Dialog yang dimaksud di sini juga bukan berupa obrolan ringan para agamawan. Sebab dialog di sini adalah proses berani melayang di awang-awang tanpa melupakan cara untuk kembali turun ke bumi.
Dalam Islam, toleransi atas kebebasan beragama terpampang dengan sangat jelas dalam QS: Al Baqarah: 62, “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Ayat tersebut merupakan bukti bahwa perbedaan yang ada bukanlah sesuatu yang mesti dihindari, sebab hal itu merupakan sebuah keniscayaan yang datangnya dari Allah. Satu-satunya hal yang dapat dilakukan dengan perbedaan itu ialah dengan menggunakannya sebagai sarana untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.