Jangan ragu kita untuk menengok ke belakang dalam usaha mencari identitas ke depan. Penulis teringat dengan tawaran Gus Dur perihal pemahaman atas QS. Al-Baqarah [2]: 208. Beliau mengungkapkan “masuklah kalian kedalam perdamaian secara sempurna”. Itulah kira-kira yang diungkapkan beliau yang tertera dalam buku “Islamku, Islam Anda, Islam Kita).
Di negara kita mungkin ini adalah tafsiran yang anti-mainstream. Karena, yang beredar dikalangan masyarakat kita adalah mengartikan kata “al-silm” dengan kata “islam”. Konsekuensi dari tafsiran terakhir ini adalah upaya mengubah dasar negara kita dengan sistem islami dalam jargonnya yang beragam, mulai dari, “perda syariah”, “khilafah” hingga “negara islam”.
Kurang lebih QS. Al-Baqarah [2]: 208 tersebut berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam “silm” keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
Para ulama tafsir terjadi perbedaan dalam memahami ayat ini. Namun sebelumnya, arti awal dari kata “al-silm” adalah al-inqiyad atau patuh dan tunduk, sebagaimana di ungkapkan oleh Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya “Mafatih al-Ghaib”. Dalam al-Qur’an disebutkan:
إِذْ قالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعالَمِين
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam” (QS. Al-Baqarah [2]: 131).
Namun kata “al-silm” lebih banyak digunakan dengan arti “perdamaian”. Ketika Islam berarti “tunduk”, sebagaimana arti asal dari al-silm, perdamaian, sebagai arti yang mayoritas digunakan dari kata al-silm, merupakan bentuk ketundukan seseorang dengan orang lain atas hasil perdamaian dan kontrak yang telah disepakatinya.
Dalam al-Qur’an ada kemiripan kata yaitu kata al-silmi (“sin”nya dibaca kasrah) dan al-salmi (“sin”nya dibaca fathah).
Al-Qurthubi dengan mengutip pendapatnya Abu ‘Amr bin al-’Ala’ menjelaskan bahwa ada perbedaan arti antara “al-salm” yang berarti musalamah atau damai dan “al-silm” berarti islam. Namun pendapat ini, sebagaimana ditulis al-Qurthubi juga, tidak disetujui oleh Muhammad bin Yazid. Karena, bahasa tidak bisa dipahami semaunya melainkan harus dengan sima’ (apa adanya dari pemilik bahasa) bukan dengan qiyas (analogi).
Ulama tafsir terkait ayat ini jelas mengalami beragam pandangan berkenaan dengan pemahaman ayat di atas sebagaimana perbedaan tentang makna “al-silm” yang telah dipaparkan sebelumnya. Namun, mari kita lihat variable lain untuk menjahit pemahaman atas ayat ini.
Munasabah (kesesuaian) ayat ini dengan sebelumnya, sebagaimana dipaparkan oleh Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya, adalah berkenaan dengan orang-orang muslim yang banyak dirugikan diantaranya dalam perjanjian Hudaibiyah. Memori ini menggugah para sahabat untuk menyerang non-muslim kaum Quraisy dengan melandaskan tindakannya pada ayat;
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-Baqarah [2]: 190).
Namun, agama yang dibawa Nabi adalah perdamaian yang lebih mendahulukan perundingan dan ketika sudah disepakatinya perundingan maka Nabi berkomitment untuk menjalankan perjanjian tersebut sebagaimana telah penulis ulaskan dalam “Tafsir QS. Al-Fath Ayat 29 Tentang Legalitas Kekerasan dalam Beragama” sebelumnya.
Dalam sudut pandang ini berarti QS. al-Baqarah ayat 208 diatas adalah auto kritik, jawaban dan bimbingan yang Allah berikan atas reaksi yang akan dilakukan oleh para sahabat pada waktu itu. Dalam artian, maksud ayat diatas, sebagaimana di tulis oleh al-Tanthawi dalam Tafsir al-Wasith-nya, adalah “ wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya iman kalian mengharuskan kalian saling berdamai dan tidak bermusuhan, saling mencintai tidak saling membenci, bersatu tidak saling bercerai-berai, sebagaimana diwajibkan kepada kalian untuk berdamai dengan orang yang tidak seagama dengan kelian ketika mereka juga berdamai dengan kalian, dan memerangi mereka ketika mereka memerangi kalian, sesungguhnya agama kalian datang bukan untuk menyebabkan peperangan dan permusuhan, melainkan agama ini (Islam) datang sebagai hidayah dan perdamaian”.
Dengan demikian, inilah perdamaian yang diharapkan. Elemen anak bangsa perlu untuk menjaga persatuan dan perdamaian apalagi yang merasa sebagai orang yang beragama. Inilah Islam kaffah, yakni islam yang ramah, menjaga dan memperjuangkan perdamaian bukan yang berkoar tanpa masuk ke sanubari individu manusia.
A. Ade Pradiansyah, penulis adalah penikmat kajian tafsir.