Di pinggiran kota Solo saya menemukan tabloid Suara Islam dan membelinya. Bukan karena saya adalah pembaca setia tabloid tersebut, bukan. Saya membelinya di sebuah loper koran karena melihat di sampul depan memuat pernyataan Tengku Zulkarnain: 2019 Harus Ganti Presiden. Juga karena di sampul belakang tersaji iklan Prabowo-Sandi satu halaman penuh. Apakah saya pendukung Prabowo dan #2019GantiPresiden? Tentu tidak. Saya hanya membayangkan tabloid Suara Islam akan jadi menarik kalau dikupas.
Membaca tabloid edisi 241 itu saya berusaha untuk tidak terkejut. Saya mengulum senyum tatkala membuka lembar demi lembar tabloid seharga Rp 9.000 itu. Dalam batin saya bergema “hmmm…” yang panjang. Di beberapa halaman tawa saya nyaris pecah. Gini amat ya politik kita, pikir saya.
Mari kita mulai dari kulit muka. Judul besar yang diusung edisi ini adalah Pilpres 2019 Tanding Ulang Prabowo-Jokowi. Pilihan kata yang diambil adalah “tanding”, seolah pilpres serupa pertandingan tinju atau semacamnya. Foto close up Jokowi dan Prabowo didesain berhadap-hadapan. Jika kita membayangkan pilpres 2019 sebagai kegembiraan berpolitik, maka bayangan kita akan buyar demi melihat foto sampul tabloid itu.
Dari sampul depan, kita langsung meluncur ke sampul belakang. Terpampang foto setengah badan Prabowo-Sandi tengah tersenyum lebar. Keduanya mengenakan kemeja putih dan songkok hitam. Di bawah foto tertulis Prabowo Subianto – Sandiaga S. Uno Mengucapkan Selamat Idul Adha 1439 H. Apakah itu merupakan bagian dari kampanye? Mencuri start kampanye? Tampaknya kita harus berdebat panjang dulu untuk menjawabnya. Sepanjang debat apakah iklan Kemenkominfo di bioskop itu sebetulnya kampanye Jokowi atau bukan.
Tajuk rencana Suara Islam edisi 241 ini memuat sesuatu yang boleh jadi membuat kita geleng-geleng kepala. Dikatakan di sana menyeberangnya Golkar dan PPP ke kubu Jokowi adalah karena intimidasi pemerintah. Suara Islam juga meyakini sebetulnya pemenang pilpres 2014 adalah Prabowo-Hatta. Mereka menuduh ada kecurangan luar biasa dan campur tangan asing. Tak cukup hanya di situ, mereka juga menyatakan pilpres 2019 secara ideologi adalah pertarungan antara kubu Islam versus kubu nasionalis-sekuler-kristiani. Sebuah cara pandang yang keblinger, amat berbahaya jika terus dilestarikan.
Berikutnya, kita amati salah satu bagian paling mencolok di tabloid itu: sebuah artikel sehalaman utuh berjudul 30 Alasan Mengapa Memilih Prabowo. Tulisan yang nyata berbentuk propaganda itu di beberapa poin tampak menggelikan. Misalnya alasan nomor 15: Prabowo tidak pernah belepotan pidato dalam bahasa Inggris, karena menguasai banyak bahasa, meski demikian hatinya sangat Jawa. Atau alasan nomor 4 yang menyebut IQ Prabowo mendekati IQ Instain (mungkin maksudnya Einstein). Alasan serupa itu justru tidak mengajak pembaca untuk jadi pemilih yang cerdas dan rasional.
Bagian yang agak menyita perhatian di tabloid itu adalah tulisan bertajuk Prabowo alias Omar. Sekujur tulisan berupaya meyakinkan pembaca bahwa Prabowo sangat islami. Salah satu bukti yang harus dilihat pembaca adalah gelar haji yang tersemat pada nama Prabowo.
Tulisan itu juga memberi tahu sebuah “rahasia” bahwa kawan-kawan dekat Prabowo memanggil Prabowo dengan panggilan Omar. Omar di sini merujuk pada Umar bin Khatab. Lepas dari benar tidak panggilan Omar itu, tampak usaha keras untuk menujukkan Prabowo dekat dengan Islam, meski ia bukan dari partai Islam, anggota ormas Islam, keluarga pesantren atau semacamnya.
Seakan masih kurang, wawancara Tengku Zulkarnain dimunculkan dalam dua halaman penuh. Jika diperas, kesimpulan wawancara itu adalah: semua salah Jokowi. Secara gegabah bahkan dikatakan selama empat tahun pemerintah tidak membela agama (Islam), tapi merusaknya. Tengku Zulkarnain sekuat tenaga ingin menunjukkan Jokowi anti Islam. Narasi yang dibangun sebetulnya pola lama: membangun kesan Jokowi musuh Islam dan Prabowo kawan Islam. Strategi yang sebetulnya sudah mulai kehilangan taji namun masih terus dipakai.
Tampak jelas bagaimana Suara Islam berusaha memoles mati-matian citra Prabowo. Mereka sangat yakin Prabowo lebih baik dari Jokowi, namun banyaknya tulisan dan polesan di tabloid itu justru mengesakan sebaliknya. Dari Suara Islam edisi 241 barangkalli kita bisa belajar satu hal: kita tahu siapa-siapa di balik Suara Islam, dan menyimpulkan di mana Prabowo-Sandi berdiri. Sebuah pilihan yang menyedihkan.