Tahun 1987. Bus-bus malam masih terus merayapi jalan lintas Sumatra. Embun masih tampak meliputi badan bus. Kaca depan terlihat buram. Hanya tampak beberapa penumpang sudah terbangun, sisanya terlelap dalam lelah. Pak Paijo, ojek yang mangkal di depan Pesantren Daarul Maarif, menarik gas, menyalip beberapa bus malam yang terengah.
"Tak usah terbesar," kataku, sambil berpegangan berat ke pundaknya yang terbungkus jaket kulit lusuh. Sebenarnya, juga berbau tak sedap.
*Mungkin saja Pak Paijo tak mendengarku. Nyatanya, kali ini malah menyalip dua truck roda 18 yang mengangkut mobil-baru. Peganganku bertambah kencang. Rasa dingin udara pagi makin terasa menusuk kulit, menembus jaket yang kukenakan.
*Tak sampai 25 menit, perjalanan ke rumah KH. Ahmad Abrori Akwan, sudah sampai jembatan bambu yang melintasi sungai selebar 15. Saya turun dari motor, karena tak memungkinkan melintasi jembatan itu dengan berboncengan.
*Jalanan yang tersisa kini berbatu-batu sebesar kepala cempe. Pak Paijo mengendarai motornya tak stabil. Beberapa kali terpeleset, Pak Paijo gagal menghindari batu yang posisinya lebih menonjol. Kalau musim hujan, kendaraan roda dua tak akan bisa dikendarai. Tak ada pilihan lain: dituntun.
*Di rumah Kiai Abrori, saya biasa memanggilnya, tampak beberapa santri membersihkan halaman, sebagian lain menyirami bunga-bunga. Melihatku memasuki halaman rumah, seorang santri putra berlari mendekati. Saat saya mengatakan hendak menemui Kiai, ia tergopoh masuk ke rumah Kiai melalui pintu samping. Saya menunggu di teras rumah. Pak Paijo hendak ke masjid, "mau berak," katanya.
*Memasuki rumah Kiai Abrori, tak akan ditemukan barang-barang mewah di ruang tamu: layaknya rumah penduduk pada umumnya. Satu-satunya yang membedakan, tiga almari berukuran 6 x 9 meter yang dipenuhi ratusan kitab. "Berapa kitab yang sudah ente baca?"
*Kiai Abrori duduk tepat di depanku. Wajahnya menunjukkan ketenangan, kesahajaan, dan lebih terlihat sebagai pedagang hasil bumi ketimbang sebagai Kiai. Kerja sampingan lainnya, membuat mebel dan almari.
"Ana diutus Kiai Sagaf," kataku dengan sedikit menyondongkan tubuh ke arah depan. Setidaknya untuk menunjukkan tanda hormat yang sedikit lebih.
"Bagaimana kabar Datuk? Nanti sampaikan salamku."
"Insyaallah."
*Pesan Kiai Sagaf, pengasuh Pesantren tempatku mengaji, sudah kusampaikan selengkap mungkin agar tak terjadi kesalahan informasi. Jika itu terjadi, tentu dampaknya tidak akan bagus, terutama bagi diriku sendiri. Setidaknya, tak lagi dipercaya menjadi utusan Kiai. Bagi santri sepertiku tentu sebuah kerugian besar.
*Satu yang kuingat benar sampai sekarang dari nasehat Kiai Abrori saat itu, soal perbuatan yang bisa dianggap sebagai tindakan kebaikan. Menurutnya, ada tiga baik sehingga tindakan bisa mencapai derajat kebaikan. Perbuatan akan dianggap kebaikan manakala dilakukan dengan niat baik, tujuan yang baik, maksud yang baik. Ini syarat pertama.
*Syarat kedua, perbuatan itu harus dilakukan dengan cara-cara yang baik, metode yang baik, strategi yang baik. Cara itu tidak melukai orang lain, tak membuat orang lain tidak nyaman, membuat orang lain ketakutan.
*Syarat ketiga, tindakan kebaikan itu harus dibiayai dengan sumber-sumber yang baik pula. Uang yang digunakan harus berasal dari sumber-sumber yang baik dan halal. Bukan berasal dari hasil mencuri, menyuap dan menipu orang lain, memaksa orang lain.
"Tanpa memenuhi tiga syarat baik ini, tak akan pernah tindakan seseorang mencapai tindak kebaikan. Sebaliknya, justru bisa menjadi kemaksiatan," katanya.
*Kini saya tak lagi bisa meminta nasehat lagi. Kiai Abrori yang menjadi Kiai berpengaruh di kalangan Nahdliyyin dan juga pemerintahan telah tiada. Saya hanya tinggal bisa mengenang kebaikan-kebaikannya, dan sedikit demi sedikit mencoba menerapkan dalam keseharianku.