Hingga saat ini menjaga keberagaman bangsa masih menjadi tantangan tersendiri bagi tegaknya NKRI. Disaat memperingati kemerdekaan kemarin, perlu kiranya bagi kita untuk mentadaburi ulang keberagaman (pluralitas) melalui petunjuk Al-Quran. Di antara ayat-ayat Al-Quran yang menarasikan tentang keberagaman masyarakat, suku, bangsa dapat kita temukan dalam Q.S. al-Ĥujurāt/ 49: 13.
يا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْناكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثى وَ جَعَلْناكُمْ شُعُوباً وَ قَبائِلَ لِتَعارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَليمٌ خَبيرٌ (13
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal“. (Q.S. al-Ĥujurāt/ 49: 13).
Kandungan umum Q.S. al-Ĥujurāt/ 49: 13 adalah realitas manusia dan Sunnah Ilahi. Setidaknya terdapat dua poin utama dalam ayat ini, diantaranya:
Pertama adalah tentang realitas manusia itu sendiri, bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Keberagaman adalah realitas yang harus kita terima. Seseorang yang menolak keberagaman berarti menolak realitas itu sendiri. Akan tetapi, selain beragam manusia juga memiliki titik penyatuan, yakni manusia tersatukan dalam asal penciptaan, yakni seluruh manusia berasal dari satu laki-laki dan satu perempuan, Adam dan Hawa. Seluruh manusia secara natural adalah bersaudara, sama-sama keturunan Adam. Dalam beberapa tempat Al-Quran menyebutnya sebagai Bānī Ādam (keturunan Adam), misalnya dalam Q.S. Yāsīn/ 36: 60: “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu“.
Kedua adalah tentang tujuan terciptanya keberagaman tersebut. Segala sesuatu memiliki tujuan. Demikiaan juga penciptaan manusia yang beragama/ plural. Kenapa manusia diciptakan secara beragam, bukan satu ragam saja? Yang pasti, Allah swt memiliki tujuan sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Ĥujurāt/ 49: 13 sendiri, “agar saling mengenal”.
Pengenalan seperti apakah yang dikehendaki Al-Quran? Sebagaimana disebutkan oleh Syeik an-Nawawī al-Bantanī dala Tafsir Marāĥ Labīd, “Agar sebagian manusia mengenal sebagian lainnya. Agar mereka tidak saling membanggakan leluhur dan suku mereka”. Demikian juga al-Ālūsī dalam tafsir Rūĥ al-Ma’ānī menyebutkan bahwa: “Agar saling mengenal dan saling bersilaturahmi, bukan untuk saling membanggakan leluhur”. Jelas bahwa melalui pengenalan dan silaturahmi maka bangunan masyarakat akan semakin kokoh, rasa iri dan saling curiga terhadap kelompok lainnya semakin bisa dikurangi. Masing-masing suku/ kelompok akan semakin mengenali keunggulan kelompok lainnya dan memahami kekurangan kelompok/ suku sendiri. Saling menutupi kekurangan dan mencari potensi-potensi suku/ kelompok untuk membangun bangsa dan negara.
Jika sebelumnya dalam Q.S. al-Ĥujurāt/ 49: 13 disebutkan salah satu tujuan psikologis dari keberagaman manusia, maka selanjutnya Allah swt mengingatkan tujuan asasi/ inti dari penciptaan manusia, yakni takwa. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu”.
Mengikuti petunjuk dan parameter Al-Quran maka bangsa dan negara yang besar bukanlah bangsa yang hanya maju dalam prestasi-prestasi material semata. Bangsa dan negara yang besar adalah bangsa yang maju secara maknawi, selain materi. Bangsa yang bertakwa dan memiliki harga diri. Selain meningkatkan kesejahteraan ekonomi, kita harus memperhatikan perkembangan ruhani dan maknawi masyarakatnya. Bangsa yang besar dalam perspektif Al-Quran adalah bangsa yang bertakwa. Maka sangatlah tepat butir pertama yang disebutkan dalam Pancasila adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam beberapa tempat, Al-Quran menyebutkan beberapa nilai penting takwa, diantaranya:
… فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى…
“… Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa…” (Q.S. al-Baqarah/ 2: 197).
… وَ تَعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوى وَ لا تَعاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَ الْعُدْوان…
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (Q.S. al-Mā’idah/ 5: 2).
Ayat-ayat tersebut menunjukan nilai penting takwa. Selain itu mengajak agar kita saling tolong menolong dalam ketakwaan, bukan tolong menolong dalam dosa.
Apa yang dimaksudkan dengan takwa? Kata takwa terambil dari kata ‘wiqāyah’ yang berarti berusaha menjaga sesuatu secara tekun, menjaga diri dari segala sesuatu yang bisa merusaknya atau memfokuskan diri agar selalu mendapatkan ridho ilahi.
Para ulama membagi level dan tingkatan takwa secara beragam. Setidaknya dapat dibagi menjadi tiga tingkatan berikut: 1. Menjaga diri dari keyakinan yang salah/ sesat berfikir, 2. Menjauhi dari setiap dosa/ perilaku dosa, 3. Menjaga hati agar tidak selalu ingat kepada Allah swt, yang merupakan tingkatan takwa orang-orang khusus (khowāsh).
Ada juga yang berpendapat bahwa takwa adalah salah satu tingkatan iman. Jika bertambah imannya seseorang maka bertambah ketakwaannya. Atau ada sebuah ungkapan lainnya, seseorang yang melakukan tindakan maksiat atau asusila maka tercabutlah iman/ takwanya. Jadi, Seseorang yang melakukan tindakan kerusakan seperti memecah belah keutuhan bangsa, korupsi uang negara atau yang lainnya berarti telah tercabut iman dan takwanya.
Keberagaman bagi bangsa yang merdeka adalah sebagai potensi menuju takwa bukan alat pemecah belah. Perpecahan adalah tanda kelemahan, sedangkan persatuan adalah tanda kekuatan. Bangsa merdeka adalah bangsa yang bermartabat, bukan bangsa yang hina. Kemartabatan suatu bangsa dalam tinjauan Al-Quran adalah terletak keimanan dan ketakwaannya sebagaimana diisyaratkan dalam Q.S. Āli Imrān/ 3: 139.
وَ لا تَهِنُوا وَ لا تَحْزَنُوا وَ أَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنينَ (139)
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Q.S. Āli Imrān/ 3: 139).
Kerwanto, Penikmat Kajian Tafsir.