Para santri tingkat awal belajar fiqih melalui kitab kecil seperti Safinah dan Taqrib. Ini kitab fiqih berdasarkan mazhab Syafi’i. Baru kemudian meningkat pada kitab syarh-nya seperti Kasyifatus Saja dan Fathul Qarib. Seiring naik tingkat, para santri akan mengenal kitab fiqih Syafi’i kelas menengah seperti Fathul Mu’in dan syarhnya seperti I’anah. Lanjut kemudian dengan kitab fiqih babon mazhab Syafi’i seperti Minhaj-nya Imam Nawawi. Dengan asumsi dasar-dasar fiqih Syafi’i sudah kokoh, para santri senior kemudian dikenalkan dengan keragaman pendapat di luar mazhab Syafi’i.
Di bawah ini saya tuliskan sedikit catatan mengenai sejumlah kitab fiqih yang merangkum 4 mazhab fiqih: Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Di luar 4 mazhab juga ada mazhab lain seperti Zhahiri, Jafari, Zaidi dan mazhab lain yang sudah tak ada pengikutnya lagi seperti Abu Tsaur, Auza’i, Thabari. Di luar itu juga masih ada opini lain dari individual ulama yang kadang kala berbeda dengan pendapat mazhabnya. Namun sekarang kita fokuskan saja dulu ke-4 mazhab. Yang saya cantumkan ini adalah kitab yang merangkum 4 mazhab, bukan kitab yang ditulis oleh ulama mazhab tertentu yang kemudian mencantumkan dan mengomparasikannya dengan mazhab lain–kitab kategori ini misalnya al-Mughni Ibn Qudamah, al-Majmu’ Imam Nawawi atau Hasyiah Ibn Abidin.
Pertama, kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil A’immah. Ini kitab fiqih yang merangkum pendapat dari keempat mazhab. Disusun berdasarkan bab fiqih standar. Tidak ada pencantuman dalil, diskusi maupun pandangan penulisnya. Ini hanya merangkum saja. Tidak lebih. Fungsinya hanya membantu kita mengetahui adakah perbedaan pendapat dalam satu kasus. Judul kitab ini menyifatkan pesan khusus bahwa perbedaan pendapat fiqih para imam mazhab itu adalah rahmat untuk umat. Kitab ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Kedua, kitab al-Mizanul Kubra. Biasanya dicetak bareng dengan Kitab Rahmatul Ummah (pada hamisy atau pinggir). Dalam kitab ini sudah ada penjelasan singkat terhadap pendapat yang dirangkum, bahkan Imam Sya’rani pengarang kitab al-Mizanul Kubra ini juga memaparkan pandangannya dengan memberikan pertimbangan mana pendapat fiqih yang ringan dan mana yang berat untuk dilaksanakan. Rasanya belum ada kitab terjemahnya dalam bahasa Indonesia (CMIIW).
Ketiga, kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd. Di pesantren modern seperti Gontor kitab ini dibaca oleh para santri senior, namun di pesantren salaf tidak semuanya mengajarkannya. Kitab ringkas 4 juz ini bukan saja merangkum perbedaan pendapat tapi juga menjelaskan sebab perselisihannya. Dalil juga dicantumkan hanya saja cukup terbatas. Saya rekomendasikan untuk membaca juga kitab Syarh-nya yang menjelaskan lebih detil mengenai dalil yang dicantumkan Ibn Rusyd. Maklum saja kitab ini memang sekedar permulaan saja (bidayah). Anda tidak bisa mengklaim sebagai mujtahid hanya karena membaca kitab ini. Kitab ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Keempat, kitab yang lebih luas dari Bidayatul Mujtahid adalah kitab al-Fiqh ‘ala Mazahabil Arba’ah. Kitab 5 jilid ini disusun oleh Abdurrahman al-Jaziri. Kitab ini sudah ada di aplikasi android (arab). Saya pernah lihat terjemahannya juga sudah ada di Gramedia. Pembahasannya lebih kengkap dari ketiga kitab di atas.
Kelima, kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah disebut-sebut sebagai yang paling lengkap merangkum opini 4 mazhab. Ditulis oleh kumpulan para ulama yang disponsori oleh pemerintah Kuwait. Terdiri dari 45 jilid yang pembahasannya berdasar alfabet arab. Jelas ini memudahkan untuk mencari topik pembahasan. Anda cukup mencari kata kunci dan melacaknya berdasarkan huruf hijaiyah. Tentu ini berbeda dengan kitab fiqih standar yang berdasarkan topik dan selalu dimulai dengan pembahasan masalah thaharah. Di bagian akhir kitab ensikopledia fiqih Kuwait ini memasukkan info mengenai nama dan bio singkat para fuqaha.
Corak pembahasannya: setelah mengurai defenisi, kemudian menyebutkan persoalan pokok dalam entry fiqih yang sedang dibahas, setelah itu menyebutkan perbedaan pandangan para ulama yang diurai dengan sistematis berikut masing-masing dalilnya. Kelemahannya adalah tidak adanya diskusi maupun analisis perbandingan. Sedari awal ini disadari oleh penyusunnya dan itulah sebbanya mereka memilih judul mausu’ah atau ensiklopedia.
Keenam, tentu masih ada kitab fiqih muqarin (perbandingan) lainnya seperti karya Syekh Wahbah al-Zuhaili yang berjudul al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu yang isinya 9 jilid dengan jilid ke-10 berisi index dan maraji’. Syekh Wahbah al-Zuhaili juga menulis Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami wa Al-Qadhaya Al-Mu’ashirah (14 jilid). Syukur alhamdulillah kedua kitab fiqih modern ini sudah bisa diunduh di internet.
Demikian sedikit penjelasan mengenai kitab fiqih perbandingan mazhab. Karakter fiqih itu memang membuka ruang perbedaan pendapat. Jadi tidak perlu kafir-kafiran gegara beda pendapat. Gak perlu mem-bully ulama yang punya fatwa berbeda. Semua Imam Mazhab punya fatwa yang dianggap nyeleneh atau kontroversial. Sekadar menyebut beberapa contoh saja:
Imam Syafi’i bolehkan anak hasil zina dinikahi oleh “bapak” biologisnya karena nasab disandarkan ke ibunya. Apa kita berani bilang Imam Syafi’i itu Yai Zina? Memangnya kita siapa dibanding beliau?
Imam Malik mengatakan anjing itu suci, tidak najis. Ini beda dengan mazhab lainnya. Apa berani kita nyinyiri beliau dengan membully mengatakan beliau itu Yai Anjing? Na’udzubillah.
Imam Abu Hanifah membolehkan minum nabidz dalam kadar tidak memabukkan. Mazhab lain mengharamkan. Apa kita berani komen beliau itu Yai Tukang Minum? Kacau kan!
Imam Ahmad mengatakan batal wudhu sehabis makan daging unta, mazhab lain mengatakan tidak batal. Apa berani kita nyindir beliau itu Yai Unta? Ngawur banget kita!
Imam Dawud al-Zhahiri bilang lemak/tulang babi tidak haram, yang haram cuma dagingnya. Mazhab lain membantah dengan keras. Tapi tidak ada ulama mazhab lain yang mencaci maki beliau dengan sebutan Yai Babi! Gak sampai segitunya.
Semua ulama fiqih itu sebelum mengeluarkan fatwa akan memeriksa dalil dan kaidah usul al-fiqhnya dulu. Lha kita bisanya cuma nyinyir.
Jumhur ulama juga belum tentu benar pendapatnya. Kebenaran dalam Islam ditentukan lewat kekuatan dalil bukan banyak-banyakan jumlah pengikut, apalagi pakai turun ke jalan dan teriak “bunuh-bunuh”.
Fatwa itu tidak mengikat. Sebagai contoh, kalau tidak cocok dengan fatwa Kiai Ma’ruf Amin, boleh pilih fatwa Gus Mus. Gak cocok dengan Gus Mus, pilih fatwa Mbah Moen. Mau pilih pendapat saya juga boleh.
Karakter fiqih itu memang meniscayakan beda pendapat. Tak usah memaksakan pendapat. Semua ulama punya rujukan dan argumen. Semakin kita luaskan bacaan kita dengan membaca kitab fiqih perbandingan mazhab akan semakin toleran kita menyikapi keragaman pendapat. Yang suka memutlakkan pendapatnya atau pendapat ulama yang diikutinya itu bisa ditebak belum luas wawasan dan bacaannya. OK, jelas yah?!
Selengkapnya, klik di sini