Bursa capres dan cawapres telah dibuka. Pertarungan politik 2019 di depan mata. Ada pertarungan klasik di pilpres 2019 yang mempertemukan petahana Joko Widodo vs Prabowo Subianto.
Kedua calon telah mengumumkan siapa yang akan mendampinginya dalam pilpres 2019. Joko Widodo sebagai calon petahana memilih wakilnya dari tokoh agama yang saat itu sedang menjabat sebagai Rais Aam PBNU yakni K.H. Ma’ruf Amin. Sedangkan Prabowo menunjuk Sandiaga Uno sebagai wakilnya.
Kedua pasangan capres dan cawapres ini sebenarnya menuai polemik. Jokowi yang awalnya akan didampingi oleh Prof. Mahfudz digantikan dengan Ma’ruf Amin. Sedangkan Prabowo diisukan akan menggandeng calon yang telah disepakati dalam Ijtima’ ulama akan tetapi berpaling ke Sandiaga Uno.
Susunan Jokowi-Maruf Amin banyak yang mengatakan bahwa itu adalah formasi nasionalis-religius. Sedangkan untuk menyamai formasi tersebut, koalisi kubu lawan menyebut Sandiaga adalah santri post-Islamisme. Istilah santri Post-Islamisme ini dirasa cukup baru dan akan mewarnai pilpres 2019 mendatang.
Istilah santri secara umum digunakan untuk menamai orang yang mempelajari ilmu agama di pesantren. Dalam pendidikan Islam di Indonesia, khususnya Jawa, pesantren merupakan sistem pendidikan tertua di Indonesia. Di dalam pesantren, seorang santri akan diajarkan tentang ilmu agama Islam. Dengan metode pembelajaran sorogan dan bandongan, seorang santri diharapkan mampu memahami ilmu ajaran Islam. Oleh karenanya, istilah santri tidak memiliki kecenderungan terkait politik.
Berbeda dengan istilah post-Islamisme. Istilah ini digunakan untuk melihat gerakan politik Islam, khususnya di Timur Tengah. Asef Bayat pernah menulis sebuah tesis tentang fenomena post-Islamisme. Ia mengungkapkan bahwa post-Islamisme merupakan sebuah gerakan yang memadukan antara Islamisme dan demokrasi. Pada saat itu, gejolak islamisme sedang melanda dunia Timur Tengah. Gerakan Islamisme muncul sebagai perlawanan adanya demokratisasi Barat terhadap dunia Timur.
Akan tetapi, Asef Bayat mengatakan bahwa ideologi Islamisme sudah mengalami pergeseran. Semula Islamisme berlawanan dengan demokrasi, namun era post-Islamisme menandai adanya perkawinan antara Islamisme dan demokrasi. Hal ini ditandai dengan kemunculan partai Front Keselamatan Islam (Front, Islamique du Salut, FIS) di Aljazair, Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkınma Partisi, AKP) di Turki, Chabiba maupun Harakah al-Tawhid wa al-Islah (Movement for Unity and Reform, MUR) di Maroko, dan di Indonesia diwakili oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Titel yang diberikan oleh politikus PKS kepada Sandiaga Uno di atas bisa dikatakan sebagai santri yang terlibat aktif dalam politik. Meskipun sebenarnya gelar santri yang diberikan kepada Sandiaga menuai polemik, karena Sandiaga adalah lulusan SMA khatolik, akan tetapi hal itu bukan menjadi persoalan, sebab Sandi menurut politikus PKS pernah mengenyam pendidikan pesantren kilat. Oleh karena itu, Sandi juga berhak mendapat titel santri.
Penggabungan istilah santri dan post-Islamisme yang dikatakan oleh politikus PKS bisa jadi mereduksi makna kata dari santri. sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa untuk menjadi seorang santri ia harus belajar dalam pesantren. Mengikuti metode pembelajaran dalam pesantren dan mempelajari ilmu-ilmu agama Islam secara mendalam. Akan tetapi bukan berarti seseorang yang hanya pernah mengenyam pendidikan kilat pesantren disebut santri. Sebab, menjadi santri tidaklah mudah. Seorang santri harus belajar kesabaran, ketelatenan, dan dunia spiritualitas lainnya.
Di Indonesia sendiri memang banyak alumni-alumni pesantren yang menjadi politikus. Bahkan seorang santripun pernah menjadi presiden di Indonesia. Akan tetapi, istilah santri post-Islamisme ini menunjukkan bahwa adanya keterlibatan seorang santri dalam politik Islamisme.
Dengan mengusung tema post-Islamisme, secara tidak langsung PKS mencoba memperkanalkan dirinya sendiri kepada khalayak umum. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa PKS merupakan sebuah partai politik yang mengusung ideologi Islamisme. Di samping itu juga, titel santri post-Islamisme yang disandang oleh Sandiaga ingin menyetarakan formasi nasionalis-religius, sebagaimana formasi Jokowi-Ma’ruf Amin.
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat aktif di Islami Institute Jogja.