فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قالَ يا بُنَيَّ إِنِّي أَرى فِي الْمَنامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ ما ذا تَرى قالَ يا أَبَتِ افْعَلْ ما تُؤْمَرُ سَتَجِدُني إِنْ شاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرينَ (102)
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Q.S. ash-Shaffāt 37: 102).
Salah satu pertanyaan mendasar yang sering muncul saat seseorang membaca ayat ini adalah terkait dengan persoalan mimpi. Bagaimana mungkin mimpinya seseorang bisa dijadikan hujjah/ argumen? Yakni, bagaimana Ibrahim menganggap mimpinya sebagai hujjah dan menjadi sumber pengetahuan?
Untuk menjawab hal tersebut, tentu terlebih dahulu kita harus menerima bahwa mimpinya seorang nabi memiliki sifat-sifat khusus yang berbeda dengan mimpinya manusia pada umumnya. Tanpa menerima premis ini maka sulit bagi kita memahami pesan-pesan penting Q.S. ash-Shaffāt/ 37: 102. Yakni, kita harus menerima pandangan umum dalam teori tafsir bahwa seorang nabi mendapatkan wahyu dengan beragam cara, diantaranya: mendapat wahyu secara langsung yang terpatri dalam qalbu-nya. Atau melalui penyaksian secara langsung dengan melihat seorang malaikat pembawa wahyu. Mungkin, seorang nabi akan mendengar suara tertentu atau mendapat pesan melalui mimpi dalam tidurnya. Dalam konteks ini, sebagaimana dituturkan oleh al-Fakhr ar-Rāzī dalam tafsirnya Mafātiĥ al-Ghayb: “Mimpi seorang nabi digolongkan sebagai salah satu jenis wahyu”.
Sesuatu yang dilihat seorang nabi baik dalam kondisi terjaga maupun tidurnya tidak mungkin terjadi kesalahan. Tidak ada kesamaran bagi seorang nabi. Mimpi nabi Ibrahim, sebagaimana dijelaskan oleh al-Fakhr ar-Rāzī dalam tafsirnya Mafātiĥ al-Ghayb, bahwa mimpi nabi tidaklah mungkin bersumber dari setan, bukan juga muncul dari wahm. Tuturnya, Ini merupakan salah satu hukum kenabian dan wahyu.
Kehujjahan mimpinya nabi Ibrahim tersebut dibenarkan oleh putranya Ismail. Q.S. ash-Shaffāt/ 37: 102 menarasikan bahwa nabi Ibrahim mengkabarkan kepada putranya (Ismail) perihal mimpinya, dimana Ibrahim melihat ia menyembelih Ismail. Selanjutnya, Ibrahim meminta pendapat kepada putranya perihal mimpi tersebut. Dalam ayat tersebut, tidak dijelaskan sanggahan atau permintaan bukti kebenaran atas pesan/ perintah dalam mimpi. Malahan, ia membenarkan dan minta kepada ayahnya agar segera melaksanakan pesan/ perintah Allah swt. Ia hanya berdoa semoga Allah swt menggolongkannya sebagai salah satu dari hamba Allah yang diberikan kesabaran atas sebuah ujian.
Melalui tela’ah narasi Q.S. ash-Shaffāt 37: 102, setidaknya dapat diambil dua pesan penting, diantaranya:
Pertama, Nabi Ibrahim mendapat wahyu melalui mimpi, perintah Allah swt kepada Ibrahim untuk menyembelih putranya, Ismail. Selanjutnya dalam Q.S. ash-Shaffāt/ 37: 103, diinformasikan bahwa baik Ibrahim maupun Ismail berserah diri terhadap segala ketentuan Ilahi dan melaksanakan ujian tersebut. “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya)”. (Q.S. ash-Shaffāt/ 37: 103).
Kedua, perintah tersebut menjadi ujian/ cobaan yang berat sebagaimana disebutkan dalam Q.S. ash-Shaffāt/ 37: 106, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata”. Pesan senada diungkapakan dalam Q.S. Al-Baqarah/ 2: 124, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya”. (Q.S. Al-Baqarah/ 2: 124)
Ayat-ayat sejenis mengisyaratkan bahwa ujian berlaku pada setiap manusia, termasuk kepada seorang nabi. Bahkan, dalam beberapa hal ujian akan berbanding dengan tingkatan orangnya. Semakin tinggi maqam seseorang maka ia akan mendapatkan ujian yang lebih berat. Allah Swt tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuan hambnya.
Sudah jelas bahwa ujian memiliki maksud tertentu. Selanjutnya, apa tujuan ujian perintah penyembelihan Ismail tersebut?
Mufasir seperti Makārim Syīrazī berpendapat dalam tafsirnya al-Amtsal fī Tafsīr Kitābillāhi al-Munazzal bahwa: “Ujian penyembelihan Ismail ini bertujuan untuk mengosongkan hati (qalb) Ibrahim dari cinta selain Allah swt. Nilai dan falsafah yang tersirat dalam perintah penyembelihan (adz-dzabĥ) ini adalah isyarat akan upaya tawajjuh kepada Allah swt; mengosongkan hati dari segala selain Allah swt. Hal senada diungkapkan oleh Ibn ‘Ajībah dalam Bahr al-Madīd fī Tafsīr al-Qur’ān al-Majīd, maksud lain dari perintah menyembelih –dalam mimpi Ibrahim- adalah ketundukan, bukan penyembelihan Ismail itu sendiri.
Perintah penyembelihan Ismail merupakan ujian yang nyata (al-balā al-mubīn) bagi Ibrahim karena perintah ini bukanlah perkara yang mudah. Ismail merupakan anak yang dinantikan oleh Ibrahim begitu lama, lalu bagaimana diperintahkan untuk menyembelihnya? Rahasia yang hendak ditampilkan/ diteladankan dalam kisah ini adalah agar Ibrahim tunduk secara mutlak kepada Allah swt
Ibrahim dan Ismail mampu melewati ujian karena mereka berdua berserah diri (taslīm). Kepasrahan diri semacam ini-lah yang mengantarkan Ismail pada maqam ‘kesabaran/ ash-shābirīn’ sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Anbiyā/ 21: 85. “Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Zulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S. al-Anbiyā/ 21: 85). Sedangkan nabi Ibrahim disebutkan oleh Allah swt dalam Q.S. ash-Shaffāt/ 37: 105 telah mencapai maqam ‘kebaikan/ al-muĥsinīn”; sebuah tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan maqam kesabaran. “Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Q.S. ash-Shaffāt 37: 105).
Perintah penyembelihan Ismail dalam Q.S. ash-shaffāt 37: 102 merupakan salah satu ujian Allah swt kepada hambanya. Ujian akan bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan hamba. Bagi Ibrahim, ujiannya adalah perintah mengorbankan putranya Ismail. Ismail adalah perkara duniawi yang paling dicintai Ibrahim. Bagi kita, bisa jadi sangat berbeda. Ismail kita bisa berupa harta, jabatan, wanita atau diri kita sendiri. Wallahhu a’lam.
Kerwanto, penulis adalah pengajar pascasarjana Institut PTIQ Jakarta.