Di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan:
الملك والدين توأَمان فالدين أَصل والسلطان حارس وما لا أَصل له فمهدوم وما لا حارس له فضائع
Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang”.
Apa yang dinyatakan oleh Imam Al-Ghazali di atas, sekilas memberikan suatu pemahaman yang mengarah pada adanya bentuk negara-agama, yaitu negara yang menjadikan salah satu agama sebagai hukum dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bahkan, lebih dari itu, Marzuki Wahid dalam bukunya berjudul Fiqh Indonesia, secara implisit menyatakan akan adanya asumsi tersebut, ia mengatakan bahwa relasi negara dan agama dalam pandangan Sunni (mazhab yang dianut oleh al-Ghazali) merupakan pendukung negara-agama yang malu-malu untuk mengakuinya.
Pertanyaanya, apakah benar Imam Al-Ghazali mendukung terbentuknya sebuah negara-agama?
Menjawab pertanyaan ini, ada baiknya jika kita menelisik kondisi sosio-politik pada masa Imam Al-Ghazali. Sebab jika coba kita telisik, kiranya pernyataan Imam Al-Ghazali terkait relasi antara negara dan agama di atas, lebih didasari motif benih-benih konflik yang terjadi di kalangan umat Islam pada masa Imam Al-Ghazali.
Sejarah politik Islam pada masa Imam Al-Ghazali, banyak diwarnai oleh pemikiran Syiah yang berpendapat adanya hubungan integral antara agama dan negara dengan menganggap imamah sebagai bagian dari rukun iman.
Oleh karena kondisi sosio-politik demikian, Al-Ghazali pada akhirnya banyak melakukan kritik terhadap konsep kalangan Syiah atau memberi nasihat-nasihat sebagai bentuk perlindungan kepada umat dari pengaruh mereka.
Kritik yang kentara dalam hal ini, terlihat dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Al-Ghazali menyatakan bahwa imamah/khilafah tidak penting. Padahal, isu imamah (negara agama) bagi kalangan Syiah merupakan hal yang penting karena merupakan bagian dari prinsip agama (rukun iman). Imam Al-Ghazali mengatakan:
النظر في الإمامة أيضاً ليس من المهمات، وليس أيضاً من فن المعقولات فيها من الفقهيات، ثم إنها مثار للتعصبات والمعرض عن الخوض فيها أسلم من الخائض
Membahas masalah imamah/khilafah ini juga bukan termasuk perkara yang penting, juga bukan termasuk bidang aqidah, namun termasuk bidang fiqhiyyah. Masalah ini juga menjadi pemicu terjadinya fanatisme. Orang yang menolak membahasnya lebih selamat, ketimbang orang yang melibatkan diri di dalamnya.
Selain itu, pada masa Imam Al-Ghazali, praktik-praktik politik banyak yang menyimpang dari jalur syariat, banyak pejabat melakukan korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan. Ironisnya, penyimpangan-penyimpangan tersebut didasari atas nama agama.
Di sini, barangkali pernyataan Imam Al-Ghazali mengenai relasi agama-negara kiranya muncul. Imam Al-Ghazali memandang perlunya sebuah konsep relasi yang membedakan —untuk tidak mengatakan memisahkan– antara agama dan negara demi menyelamatkan penyalahgunaan kekuasaan atas nama agama yang marak pada saat itu.
Pernyataan “Negara dan agama adalah saudara kembar” menunjukkan bahwa antara negara dan agama dalam pandangan Imam Al-Ghazali merupakan dua eksistensi yang berbeda. Agama perlu dibedakan dengan negara. Sebab, jika agama dan negara integral, menjadi satu kesatuan, maka rentan terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Negara dalam pandangan Imam Al-Ghazali tidak menjadi prinsip keimanan. Namun, demikian bukan berarti lantas antara agama dan negara harus dipisah secara ekstrem, hingga menolak simbol-simbol keagamaan digunakan di ruang publik dan tidak melibatkan agama sama sekali. Agama, tetap diperlukan untuk mengontrol kehidupan bernegara dan berbangsa. Hanya saja, agama tidak diterapkan secara tekstual-skriptual dan formal.
Sehingga, pemerintahan berdasarkan agama bukan berarti dipahami sebagai kewajiban formalisasi syariat atau diwujudkan dengan bentuk negara-agama. Karena Imam Syafi’i menyatakan;
لا سياسة إلا ما وافق الشرعَ
“Tidak ada politik melainkan apa yang sesuai dengan syariat.”
Ibnu Qayyim menjelaskan ungkapan di atas bahwa yang terpenting dalam berpolitik bukanlah kesesuaiannya dengan syariat secara teks atau tekstualis. Akan tetapi yang terpenting tidak bertolakbelakang dengan apa yang dikehendaki syariat (maqashid asy-syari’at).
*Baca Artikel ini selengkapnya di sini