Perkembangan teknologi membawa banyak perubahan pada pola hidup manusia. Lebih-lebih setelah internet merasuk di setiap sendi kehidupan orang banyak. Perilaku konsumsi dan produksi informasi sudah barang tentu mengalami perubahan dan pergeseran. Demikian juga dengan laku beragama manusia di era modern seperti sekarang, yang ditandai makin karibnya mereka dengan dunia siber.
Melalui buku Wajah Al-Quran di Era Digital, Abd. Halim menyoroti pertautan intenet dan cara beragama manusia kiwari. Di masa sekarang jamak kita dengar orang-orang belajar agama dengan menyimak ceramah seorang ustaz di Youtube. Atau merasa mendapatkan pencarahan dari seorang kiai di Twitter. Atau mengajukan pertanyaan seputar agama kepada mesin pencari. Fenomena mutakhir yang tentu tidak ditemui di masa lampau.
Boleh dikatakan, buku ini cukup kritis menguliti fenomena-fenomena itu. Banyak istilah-istilah kontemporer yang coba diketengahkan buku ini. Istilah-istilah yang begitu lekat dengan laku beragama kita sehari-hari. Misalnya digitally pious dan posting Islam. Abd. Halim meminjam istilah Martin Slama menjelaskan fenomena digitally pious atau kesalehan digital. Sebagaimana kita lihat hari ini, kesalehan telah turut bermigrasi ke Instagram, Twitter, FB, WA.
Kesalehan digital melahirkan posting Islam (menggunggah materi-meteri keislaman di internet/media sosial). Posting Islam hari ini mudah sekali kita temui. Para pendakwah menyampaikan pesan-pesan agama di media sosial. Orang-orang yang menggunakan ayat/hadis sebagai caption foto di Instagram. Mengunggah meme di FB dan Twitter dengan dilengkapi kutipan dari ulama. Hal-hal serupa itu kini gampang kita temui.
Adapun yang menjadi fokus utama buku ini adalah posisi Al-Quran di ranah siber, utamanya media sosial. Abd. Halim mencatat sejumlah problem terkait hal tersebut.
Pertama, soal otoritas. Kita tahu, internet (lebih khusus sosial media) mereduksi otoritas. Tidak ada pakar di dunia maya. Semua sama, egaliter. Lebih kejam, kepakaran kini ditentukan oleh banyaknya follower dan luasnya influence. Siapa yang otoritatif berbicara dan menafsir ayat-ayat Tuhan menjadi kabur di dunia siber. Lain dengan di dunia nyata masa lampau, di mana kita selalu bersandar pada ulama dan kiai dengan keilmuan yang jelas.
Kedua, masalah otentisitas. Al-Quran digital dapat dengan mudah diunduh, begitu juga dengan kitab-kitab klasik. Di tengah keberlimpahan dan kemudahan referensi seperti itu, otenstisitas layak dipertanyakan. Menurut Abd. Halim, di masa sekarang, rentan penyimpangan naskah kitab suci dan kitab-kitab induk, baik disengaja maupun tidak. Maka kehati-hatian menjadi wajib.
Ketiga, masalah sakralitas. Bagi Abd. Halim kehadiran Al-Quran di gawai yang mudah dibawa kemana-mana mendatangkan satu persoalan tersendiri. Terlebih jika gawai dibawa ke tempat-tempat yang dianggap tidak patut untuk kitab suci, seperti WC atau kamar mandi. Ia juga menyoal perilaku orang yang dengan mudah mengutip ayat untuk kepentingan profan, semisal politik praktis dan bahkan kekerasan. Seolah ayat dari kitab suci tak bernilai sakral sama sekali.
Buku Al-Quran di Era Digital mengingatkan kita pada buku Tafsir Al-Quran di Medsos karya Nadirsyah Hosen. Buku Al-Quran di Era Digital sejatinya menyisakan ruang-ruang terbuka yang semestinya bisa diisi penelitian-penelitian lanjutan. Mengingat internet bukanlah benda mati yang tak bisa bergerak dan berkembang. Sebaliknya, internet melaju sedemikian kencang dan berpotensi membuat riset berbasis fenomena di dunia siber menjadi cepat “usang”. Juga mengingat Al-Quran adalah kitab yang tak akan henti dikaji. Karena ia cocok untuk segala zaman.
Akhirul kalam, mari kita nantikan karya-karya bernas Abd. Halim lainnya, terutama kajian seputar agama dan internet, dua tema yang selalu menarik dibahas. Menarik misalnya jika kelak Abd. Halim menulis buku tentang perilaku beragama generasi milenial di era digital atau semacamnya.
Judul : Wajah Al-Quran di Era Digital
Pengarang : Abd. Halim S.Th.I., M.Hum
Penerbit : Sulur Pustaka
Cetakan : Pertama, 2018
Tebal : 114 halaman
ISBN : 978-602-5803-04-8