Sepanjang sejarah, habaib (keturunan Nabi dari jalur Ahmad bin Isa al-Muhajir) dikenal sebagai para ulama yang senantiasa menghindarkan diri dari berbagai konflik politik. Mereka merupakan orang-orang yang meniti sebuah jalan spiritual yang dikenal dengan sebutan Tarekat Alawiyah. Nama itu merujuk kepada Alawy bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir yang lahir di Hadhramaut (kelak keturunannya disebut Bani Alawy). Ahmad al-Muhajir sendiri lahir di Irak. Ia mendapat julukan “al-Muhajir”, artinya yang berhijrah, lantaran berimigrasi ke Hadramaut.
Ekspresi tarekat tasawuf ini antara lain adalah amalan pembacaan doa, wirid, dan kasidah maulid karya para salaf (pendahulu). Sebagian pembacaan doa dan kasidah maulid itu kemudian juga menjadi tradisi masyarakat di berbagai wilayah di Nusantara.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa inti dari ajaran tarekat sufistik itu adalah pengejawentahan nilai-nilai transedental penghambaan kepada Tuhan ke dalam ruang kesunyian diri, uzlah (meditasi), ibadah ritual, penyucian jiwa, peningkatan akhlak, dan penebaran perdamaian kepada semua makhluk.
Teologi perdamaian Tarekat Alawiyah yang diemban membuat para habib kerap didaulat sebagai guru masyarakat, payung peneduh dari panasnya berbagai konflik sosial politik. Tarekat yang menjadikan teladan kelembutan akhlak Nabi sebagai suluh pembimbing laku individul dan sosial itu, menempatkan mereka pada jarak yang elegan dari semua konflik politik.
Keteguhan pada jalur Tarekat Alawiyah telah membuat habaib menjauh dari segala keterlibatan aksi politik selama berabad-abad. Dan para habib yang tiba di Nusantara pun tetap setia meniti jalan serupa itu. Pola dakwah dan pendekatan terhadap persoalan politik tetap sama, yaitu akhlak dan menghindari aksi-aksi politik konfrontatif. Selain mengutamakan ajaran etika melalui dakwah personal, sejumlah habib juga mendirikan lembaga pendidikan.
Di antaranya yang paling penting adalah Habib Idrus bin Salim al-Jufri di Palu, Sulawesi Tengah. Dengan tetap menjauhkan diri dari keterlibatan dengan politik praktis, Habib Idrus al-Jufri membangun sekolahan Islam bernama al-Khairat yang kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan terbesar di Indonesia timur.
Hal yang hampir sama dilakukan oleh Habib Ali bin Abdurahman al-Habsyi (dikenal dengan sebutan Habib Ali Kwitang) yang mendirikan majelis taklim yang melahirkan ulama-ulama besar Betawi seperti KH.Abdullah Syafi’i dan KH. Thahir Rohili.
Sejumlah habib lainnya mewariskan pusat-pusat aktivitas spiritual seperti kubah makam dan acara haul yang menjadi agenda kegiatan keagamaan Bani Alawy dan para muhibbin.[1] Beberapa di antarnya adalah Makam Luar Batang (Habib Husein bin Abubakar al-Aydrus), Makam Empang Bogor (Habib Abdullah bin Mukhsin al-Atas), Makam al-Hawi (Habib Ali bin Husein al-Atas, dll), Haul Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi di Solo, Ziarah Kubro di Palembang, dll.
Makam dan acara-acara itu didatangai oleh ratusan ribu orang yang berharap memperoleh keberkahan melalui wasilah kemuliaan makom spiritual para habib yang diperingati dan diziarahi.
Dengan demikian, melalui kitab-kitab kasidah maulid, doa, wirid, madrasah, majelis taklim, makam, dan haul, para habib telah membangun jaringan spiritual yang merengkuh Bani Alawy dan para muhibbin di seluruh Indonesia. Gugusan oase spiritual dibentangkan dan disebarkan di berbagai tempat di mana Bani Alawy dan para muhibbin dapat mereguk curahan hikmah dan berkah bagi kesegaran batiniah mereka.
Meski sebagaimana sentra-sentra aktifitas keagamaaan lainnya di seluruh dunia, tempat dan kegiatan-kegiatan semacam itu bisa jadi merupakan modal sosial dan politik, namun sepanjang sejarah mereka relatif berhasil mempertahankan jarak dari keterlibatan langsung dalam konflik-konflik kepentingan politik.
Dengan kata lain, melaui penekanan pada ajaran akhlak, dan contoh-contoh perilaku para salaf, Tarekat Alawiyah berhasil memagari anggotanya agar tidak menyeret dan menjerumuskan kehabiban ke dalam wilayah politik apa pun, termasuk gerakan politik yang mengklaim demi cita-cita penerapan syariah dan kememangan Islam.
Tarekat Alawiyah menetapkan garis merah yang memisahkan antara tasawuf dan politik. Dan para salaf habaib telah memutuskan untuk memilih tasawuf sebagai jalan dakwah, bukan politik, apalagi yang bersifat agresif. Para salaf senantiasa menghindar dari penyikapan konfrontatif terhadap segala fenomena sosial politik. Mereka lebih memilih berikhtiar meningkatkan perbaikan dan penyucian jiwa secara personal melalui keteladanan Nabi, ketimbang ambisi “mengubah dunia” sebagaimana yang diemban Islam politik.
Pematahan Pedang Faqih al-Muqadam
Lalu apa yang mendasari pilihan sikap para salaf habaib itu? Saya menduga semua ini berkaitan erat dengan sebuah keputusan penting yang diambil oleh sang pendiri Tarekat Alawiyah, Faqih al-Muqadam.[2] Faqih al-Muqaddam merupakan figur agung dalam hirarki nasab silsilah dan sanad (mata rantai keilmuan) di kalangan habaib. Sang Ahli Agama yang Terkemuka itu secara simbolis mematahkan pedang sebagai tanda bahwa ia beserta seluruh anak keturunannya tidak lagi memerlukan senjata dalam hidupnya.
Pedang sebagai simbol perjuangan politik konfrontatif telah dipatahkan dan dicampakkan. Faqih al-Muqaddam seperti hendak mengatakan bahwa sejak hari ini dan seterusnya, ia dan anak keturunannya tak akan lagi berdakwah atau berjuang melalui cara-cara yang bersentuhan dengan kekuatan fisik dan senjata. Secara terbuka beliau seolah mendeklarasikan bahwa Tarekat Alawiyah adalah sebuah jalan dakwah dan spiritual yang samasekali harmless.
Saya tidak berani berspekulasi tentang apa sesungguhnya yang mendasari Faqih al-Muqaddam mengambil sikap seperti itu. Apakah itu merupakan sebuah istihad hasil dari perjalanan keilmuan dan spiritualnya yang sedemikian panjang dan mendalam, atau lantaran pengaruh dari kondisi faktual di lapangan? Sejak terbunuhnya Ali bin Abi Thalib dan jatuhnya kekhalifahan ke tangan Bani Umayyah, keluarga Nabi selalu mendapat intimidasi dan ancaman pemusnahan.
Puncaknya terjadi pada peristiwa yang dikenal sebagai tragedi Karbala di mana cucu Nabi yang bernama Husein (putra Fathima Azzahra dan Ali bin Abi Thalib) beserta seluruh anak lelakinya (kecuali Ali Zaenal Abidin, satu-satunya yang berhasil menyelamatkan diri dan kelak menurunkan para sayyid dari jalur Husein di seluruh dunia, termasuk Bani Alawy), dibantai di Karbala, Irak, oleh khalifah kedua Bani Ummayah yaitu Yazid bin Muawiyah.
Semenjak itu, posisi politik keluarga Nabi kian mengalami pelemahan. Intimidasi dan ancaman pembantaian terhadap keluarga Nabi dari musuh-musuh politiknya terus berlanjut baik pada masa kekuasaan dinasti Umayyah maupun dinasti Abbasiyah. Artinya, aspek historis, dalam hal ini trauma pembantaian dan penindasan, bisa jadi merupakan salah satu faktor yang mendasari pematahan pedang tersebut.
Namun yang jelas, Manhaj Kasru as-Saif (Jalan Patah Pedang) yang telah ditetapkan oleh Faqih al- Muqaddam, dengan penuh takzim dan setia dipatuhi oleh seluruh habib keturunannya. Sepanjang sejarah nyaris tak terdengar ada figur sentral habib pengamal Tarekat Alawiyah yang terlibat dalam pergerakan di wilayah politik. Teologi perdamaian yang dikandung Tarekat Alawiyah seperti telah menutup pintu kemungkinkan pentransformasian Islam menjadi kekuatan politik formal, seperti yang dilakukan oleh misalnya Ikhwanul Muslimin dan revolusi Islam Iran. [Bersambung]
[1] Muhibbin artinya para pecinta. Dalam terminologi habaib, istilah ini merujuk kepada orang-orang yang mengikuti ajaran Keluarga Nabi dan keturunannya.
[2] Faqih al-Muqadam (artinya ahli agama yang terkemuka, 1153 – 1232 masehi) adalah julukan untuk Imam Tarekat Alawiyah, Muhammad bin Ali bin Muhammad Sohib ul-Mirbat bin Ali Khali Qassam bin Alwi al-Tsany bin Muhammad bin Alwi al-Ula bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumy bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidi bin Jakfar as-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zaen al-Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Baca juga tulisan selanjutnya:
Dinamika Habaib: Islam Politik Rizieq Shihab dan Pedang Patah Faqih al Mukaddam (Bag-2)
Dinamika Habaib: Islam Politik Rizieq Shihab dan Pedang Patah Faqih al Mukaddam (Bagian 3-Habis)