Felix Siauw kembali membuat kontroversi. Kali ini perihal Islam Nusantara dan proses Deislamisasi. Bahkan, ia membuat lompatan logika dan generalisasi yang lucu sekali: rezim seolah anti islam dan islam nusantara adalah bagian dari itu. Felix juga membuat argumentasi dan pilihan kalimat yang tampak begitu meyakinkan tapi, kalau kita lebih jernih lagi, kata-kata yang ia gunakan bopeng dan gampang sekali dipatahkan. Tapi, sebelum kita membahas itu, saya ingin cerita.
Tepat pada malam perayaan final Piala Dunia 2018, saya menghadiri majelis Haul dan Khotmil Quran di Pesantren Binaul Ummah, Wonolelo, Bantul. Bukan berarti saya sok saleh, enggak blass. Namun hasrat mengebu untuk Nobar pertandingan mahapenting malam itu musti saya tanggalkan karena suatu alasan yang tidak kalah penting. Nderekne (mengantar) salah satu Kiai.
Terang saja, saya yang cuma seorang pengantar diberi kebebasan untuk berkeliling sekitaran lokasi acara. Sementara pak Kiai yang saya antarakan ya tentunya duduk di kursi VIP bersama dengan tamu kehormatan lainnya. Tapi bukan ini poin saya.
Secara geografis, lokasi acara tersebut memang tidak segebyar umumnya zona metropolitan. KH. Utsman Ridlo, seorang ulama dari Temanggung, yang saat itu mengisi ceramah keagamaan barangkali merupakan salah satu faktor pendukung mengapa para jamaah tetap antusias mengikuti prosesi acara hingga benar-benar purna, terhitung pukul satu dinihari sejak dimulai ba’da sembahyang isya.
Lazimnya para Kiai-kiai Nusantara, berdakwah bukan hanya berfatwa urusan halal-haram, boleh tidak, Khilafah-Demokrasi. Dakwah tidak sesempit itu. Dengan kata lain, masih banyak cita-cita kemanusiaan dan peradaban yang bisa digali dalam Islam dan lalu dikonsolidaskan lewat dakwah. Sehingga yang menjadi titik tekan adalah kesantunan, keramahan, kedamaian dan pengembangan dari visi-misi Kanjeng Nabi Muhammad yang rahmatan lil ‘alamin serta shalih li kulli zaman wa makan lainnya.
Di belahan bumi lain, seorang Ustaz yang namanya ndak terlalu Arab apalagi Nusantara bikin gaduh warganet. Ya, di saat kita menawarkan ekspresi keberislaman yang ramah dan santun sebagai upaya merajut kembali benang-benang persatuan dan perdamaian, Felix Siauw belum lama ini merilis sebuah video dengan caption yang lumayan ngeres soal Islam Nusantara.
Menurutnya, ide Islam Nusantara ini justru untuk merasa lebih hebat dari Islam yang Rasul bawa. “Saya menolak tegas,” tulis dia.
Baca juga: Tiada Agama bagi yang Tidak Berakal: Catatan untuk Felix Siauw
Yah, meskipun sikap dia itu masih bisa sedikit dirasionalisasikan kenapa Felix Siauw menolak Islam Nusantara. Tentunya, karena dia adalah representasi “artis” yang tampil di layar kaca. Pun muwajahah dengan jamaahnya, itu saya kira tak lebih dari sekadar meet and great dengan para fans kendati berbalut dakwah dengan sentilan khilafahnya.
Lagian, ndak level lah kalau Felix Siauw itu ngisi pengajian laiknya kiai-kiai kampung yang menemani jamaah di pelosok-pelosok sampai tengah malam. Dia itu kan kelasnya orang kota atau di sekolah-sekolah dan bikin mangut-mangut remaja-remaja islami masa kini.
Sejujurnya, kalau boleh ikut-ikutan menolak, saya pun menolak. Ya, saya menolak tegas penolakan Ustaz Felix Siauw. Hla pie, wong apa yang ditulis sama Felix itu sama sekali gak berdasar kok. Alih-alih mengkritisi atau minimal menawarkan cara pandang yang elegan, Felix Siauw justru blunder ketika menuding Islam Nusantara sebagai proyek de-islamisasi, dan di atas semua itu malah mengaitkannya dengan penghina ulama dan isu politik 2019.
Mana ada Islam Nusantara itu de-Islamisasi. Felix Siauw itu ngawur. Dia pasti belum pernah dengar dan ndak ngerti apa itu guru lagu, guru wilangan, lagu Lir-ilir atau Turi Putih, juga tembang-tembang a la macapat dandanggulo, slendro, pelog, dan lainnya yang sarat makna keislaman tanpa musti tercerabut dari akar kebudayaan sebagai media dakwah para Ulama Nusantara masa lalu.
Bukan untuk gagah-gagahan, apalagi menyaingi Islamnya Kanjeng Nabi, Islam Nusantara itu justru mengejawantah dalam sebuah realitas kebudayaan, sehingga masyarakat paling awam sekalipun bisa mengerti dan menerima spiritualitas Islam sebagai ajaran yang sangat humanis.
Dalam hubungan inilah, kiranya semakin kentara pihak mana yang benar-benar ‘alim dan mengerti atau sekadar cari sensasi. Atau, masihkah kita berkutat pada urusan yang formal sementara nihil akan yang substansial?
Pendek kata, Islam Nusantara memang sederhana. Tapi tidak sesederhana yang dibayangkan oleh Felix Siauw. Sebab, Islam Nusantara, sependek yang saya tahu di samping sebagai tema Muktamar NU 2015 lalu, adalah mendakwahkan Islam sebagaimana yang Kanjeng Nabi ajarkan. Seperti yang saya temui pada majelis pengajian di awal tadi, dan mungkin juga pengajian di kampung-kampung pada umumnya, dakwah itu ya santun dan mencerdaskan. Mengapresiasi bukan mencaci maki. Merangkul bukan memukul.