Khawarij, salah satu aliran dalam sejarah islam yang merasa paling benar dan kerap menyalahkan yang lain, ternyata mewujud dalam konteks kekinian (milenial). Tapi, sebelum kita bicara itu, beberapa waktu yang lalu saya membaca tulisan Kalis Mardiasih di sebuah media online mengenai hilangnya kepakaran di media sosial. Ia mengulas bagaimana kondisi media sosial di masa kini begitu mengerikan di mana perbedaan pandangan politik bisa membuat seseorang dicaci maki habis-habisan. ‘Korban’ caciannya pun bukan lagi masyarakat biasa. Seorang tokoh yang memiliki kredibilitas tinggi tak luput dari ‘serangan’ apabila memiliki pandangan yang berbeda.
Sebagai contoh adalah KH Yahya Cholil Staquf, salah seorang ulama yang mengasuh pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang. Ia yang datang mengisi seminar untuk menebar gagasan Islam rahmah di Yerusalem diserang habis-habisan di media sosial. Caranya pun jauh dari kategori beradab. Hal ini dilakukan oleh orang-orang yang tingkat kepakarannya tentu jauh dari kapasitas kiai yang diserang itu. Anehnya, cara-cara demikian dilandasi dengan semangat membela agama.
Di sini saya tidak ingin membicarakan pilihan politik dan gerakan tagar-tagaran. Yang perlu dikhawatirkan adalah merebaknya generasi yang melakukan sesuatu dilandasi semangat jihad tetap justru menjadi perilaku bejat. Hal ini terjadi karena cekaknya ilmu agama yang dimiliki, sementara semangat untuk belajar tak lagi tertancap di sanubari. Walhasil terjadilah klaim kebenaran dengan menyalahkan pandangan orang lain.
Saya pernah terlibat dalam sebuah penelitian tentang narasi yang beredar di media sosial. Kami mengambil data dari ribuan akun di Twitter, Instagram, YouTube, dan Facebook, kemudian menganalisa pesan-pesan yang dibawakannya. Pada dasarnya, gerakan ini muncul untuk melakukan takfiri (pengafiran) terhadap paham yang berbeda. Khilafah, hijrah, jihad dan berbagai istilah Islam lainnya hanya digunakan sebagai kedok dalam memperjuangkan klaim kebenaran sepihak itu. Tentu saja tidak semua orang yang berjuang atas nama khilafah, hijrah, atau jihad hanya menggunakan bahasa agama sebagai kedok. Namun harus diakui, kelompok takfiri menunggangi isu-isu agama untuk menyerang pihak yang berbeda.
Di antara ribuan akun, kami mengamati ada banyak akun-akun yang dimiliki oleh anak muda usia produktif antara 18-30 tahun. Dalam istilah demografi, mereka dikategorikan sebagai generasi Y atau generasi milenial. Generasi ini disebut-sebut sangat akrab dengan teknologi sehingga untuk mencari informasi, mereka menggunakan teknologi sebagai sumbernya. Muncullah istilah ‘belajar bersama Mbah Google’.
Belajar di internet bukanlah sebuah kesalahan selama prinsip-prinsip mencari ilmu tetap digunakan. Salah satu prinsip mencari ilmu adalah adanya petunjuk dari sang guru. Maksudnya adalah seseorang yang tengah mencari ilmu seharusnya memiliki seorang guru yang mengarahkan. Ini dikarenakan cakupan ilmu yang sangat luas. Ada banyak hal yang tidak bisa dipahami oleh seorang murid ketika mempelajari sebuah ilmu. Gurulah yang kemudian menjadi jembatan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Akan tetapi pada kenyataannya banyak orang yang menyatakan dirinya belajar otodidak berlaku pragmatis dengan menyeleksi kebenaran sesuai keinginannya dengan menutup kebenaran lainnya. Ini sangat berbahaya apalagi jika menyangkut persoalan agama. Sebab jarak antara Nabi Muhammad SAW dengan kita hari ini sudah hampir 15 abad, tentu ada banyak hal-hal yang perlu dipelajari dengan membaca berbagai literatur.
Tingkat bahaya ini semakin besar ketika agama dibawa ke ranah politik. Saya tidak mengatakan agama tidak mengajarkan politik, sebab salah satu yang diajarkan Nabi selama hidupnya adalah mengelola masyarakat. Mengelola masyarakat dalam term ilmu politik sudah disebut sebagai kegiatan politik. Namun pengertian politik yang disempitkan dengan ideologi tertentu inilah yang banyak madharatnya. Padahal Islam mengajarkan agar politik itu membawa masyarakat pada maslahah (kebaikan), bukan masalah.
Sejarah Islam sudah menunjukkan betapa mengerikannya penggunaan agama dalam kegiatan politik. Yang menjadi korban bukan hanya masyarakat biasa, tetapi juga para sahabat Nabi. Misalnya saja Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang menjadi korban orang-orang berpaham khawarij yang memvonis Khalifah Ali tidak sesuai dengan ajaran Nabi. Akhirnya kelompok ini membunuh salah seorang yang dijamin masuk surga oleh Nabi Muhammad itu dengan cara biadab mengatasnamakan kesucian agama.
Di sinilah letak berbahayanya agama dalam politik jika digunakan untuk membenci pihak lain. Jika ada seorang tokoh yang berseberangan dengan lawan politik langsung dieluk-elukkan. Sementara jika tokoh tersebut berbalik mendukung lawan politik tersebut, secara otomatis segala kebaikannya dilupakan berganti dengan cacian, disebut sebagai kaum munafik, anti-Islam, dan berbagai tuduhan lainnya. KH. Ma’ruf Amin dan Tuan Guru Bajang adalah beberapa tokoh yang mendapat serangan dari kelompok tersebut karena memilih bersikap netral dalam berpolitik, mengkritik jika keliru dan memuji jika benar. Sayangnya, kelompok ini begitu bahagia ketika kebencian terus diterbarkan.
Sikap berpolitik ala kacamata kuda adalah ancaman nyata bagi masa depan negeri ini. Apalagi jika generasi milenial yang kelak memimpin punya karakter yang sama dengan kaum khawarij yang menorehkan sejarah gelap dalam sejarah Islam. Perlu langkah nyata untuk mencegah tumbuh suburnya generasi khawarij milenial, salah satunya dengan mendorong mereka mencari guru dalam menuntut ilmu agama. Tentu saja guru yang dimaksud adalah guru-guru yang mencerminkan bahwa mereka mengerti persoalan agama dan memiliki jalur keilmuan yang jelas.
Beberapa ciri guru agama yang sesuai dengan tuntunan agama Islam adalah menghormati orang yang berbeda, baik berbeda mazhab fikih, bahkan beda agama. Jika ada guru yang selalu menebar kebencian pada orang lain dan gemar melabeli sesat pada yang berbeda, perlu dipertanyakan sanad keilmuannya dapat dari mana.
Satu hal yang cukup fundamental bagi generasi milenial agar terhindar dari paham khawarij adalah memperbanyak meniru akhlak Nabi Muhammad dan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman. Orang berakhlak Qur’ani tidak akan pernah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan puncak ajaran agama Islam, yakni rahmah atau kasih sayang. Sementara kebencian tidak akan pernah bersanding dengan rahmah. Wallahua’lam.