Bindara Zainur, seorang filsuf bangsawan dari Madura, mengeluh kepada sahabatnya, Raden Wong Wongan, penguasa Negeri Rembang,
“Aku hidup demi pengetahuan”, Bindara bicara dengan suara yang masgul, “kalau tak ada lagi yang tersisa dari dunia ini yang belum kuketahui, untuk apa lagi hidupku ini?”
Raden Wong Wongan pun jadi prihatin. Tapi sejurus kemudian ia ingat sesuatu,
“Ah! Ada satu hal yang aku yakin engkau belum mengetahui hakikatnya!”
Bindara Zainur sontak berbinar. Semangatnya akan ilmu pengetahuan berpijar-pijar,
“Apa itu?”
“Blekuthuk“.
“Apa itu ‘blekuthuk‘? Dimana aku bisa mempelajarinya?”
Raden Wong Wongan tercenung. Lalu, seolah tanpa sadar ia menggelengkan kepala dengan lemah,
“Tidak mudah… tidak mudah…”
Bindara menggeretakkan gerahamnya,
“Katakan padaku! Kesulitan apa pun akan kutempuh! Sebesar apa pun pengorbanannya, aku siap! Sepenuh jiwa ragaku! Demi satu pengetahuan baru!”
“Engkau harus menemui seorang guru besar di padepokan Gunung Merapi”.
“Siapa?”
“Kanjeng Sunan Sumobagor”
Bindara tak mau buang-buang waktu. Dengan bekal seadanya ia berangkat. Menempuh hutan, gunung dan jurang, laut dan sungai-sungai besar penuh mara bahaya. Hingga bertemu Kanjeng Sunan.
“Temuilah penjual ikan di pasar maya”, sabda Kanjeng Sunan.
“Siapa?”
“Danyang Badrus”
Bindara mematak aji, memasuki jagad lelembut, menemui Danyang Badrus.
“Carilah seorang nelayan di kisik antah berantah. Mung namanya”.
Nelayan Mung memandangi Bindara dengan sorot mata terheran-heran.
“Sungguh Paduka ingin tahu?”
“Ya! Bagaimana pun caranya!”
“Paduka berani?”
“Jangan tanya lagi! Cepat katakan!”
Mung menghela napas dan memberesi jala yang terkelumbruk di sampannya.
“Paduka harus pergi ke Pulau Sorga”.
“Dimana itu? Antarkan aku kesana!”
Mung menggelengkan kepala,
“Tidak bisa. Hamba tak berani. Paduka bawa sendiri saja sampan hamba ini”.
“Baik! Aku harus ke arah mana? Mencari siapa atau apa?”
“Mengayuhlah ke Utara. Kalau angin sudah berbau harum dan ikannya terasa manis, Paduka sudah dekat dengan Pulau Sorga”.
“Lalu, kalau sudah sampai, aku harus bagaimana?”
“Temuilah seorang pertapa di sana. Simbah Nyutz namanya”.
Entah berapa purnama Bindara terkatung-katung di tengah samudera, hingga tinggal kulit yang membalut tulangnya, sebelum akhirnya sampai di Pulau Sorga. Di sebuah goa yang ditunggui tujuh ekor macan dan sembilan ekor singa–badan Bindara sudah menjadi begitu kurusnya sampai-sampai binatang-binatang ganas itu pun tak berselera–Bindara bertemu Sang Pertapa.
Dengan penuh kasih-sayang Simbah Nyutz menerima bangsawan yang merana itu. Ia memaksa untuk terlebih dahulu merawat Bindara hingga sehat sebelum menjawab pertanyaannya. Setelah Bindara memperoleh kembali kesegaran tubuhnya, barulah Sang Pertapa mewejang,
“Di tengah pulau ini ada sebuah bukit. Di atas bukit itu ada telaga. Itulah Telaga Kehidupan. Di tepi telaga itu ada sepasang pohon pinang yang batangnya merunduk ke arah Barat. Di tengahnya tergeletak batu bacan seukuran kerbau. Kalau kau sanggup menggeser batu itu, galilah tanah dibawahnya.”
Bindara harus mengerahkan segala kesaktiannya untuk melaksanakan petunjuk Sang Pertapa, hingga akhirnya berhasil mengangkat sebuah peti yang terkubur di bawah batu bacan raksasa. Serasa bergemuruh dada Bindara saat membuka peti itu. Ia dapati di dalamnya sebuah guci kuno dan selembar kertas papirus yang terlipat. Tulisan di kertas itu tak mungkin dipahami orang awam, karena berupa kalimat-kalimat dari bahasa purba yang sudah lama punah. Tapi Bindara adalah gudang segala pengetahuan. Bahasa itu sudah pernah dipelajarinya,
“Barang siapa telah menempuh segala kesulitan dan mara bahaya untuk mengetahui hakikat yang ia cari hingga ke tempat ini, hendaklah ia celupkan guci ini secara tegak lurus ke dalam telaga”.
Bindara terharu luar biasa. Segala pengorbanan itu kini telah sampai ke buahnya. Tanpa terasa air matanya bercucuran oleh suka-cita. Hampir-hampir kakinya tak mampu menyangga tubuhnya menuju tepian air telaga itu. Dengan khusyuk, hatinya memanjatkan syukur ke Hadirat Yang Mahakuasa, yang telah memberinya kekuatan dan menuntunnya hingga ke tujuan. Lalu dengan penuh takzim, ia julungkan guci itu ke permukaan telaga.
Tepat pada saat mulut guci itu mulai turun dari permukaan telaga, Bindara Zainur mendengar suara,
“Blekuthuk… blekuthuk… blekuthukkk…..”
(Bersambung ke Epilog).
Sumber: http://teronggosong.com/2015/08/pencari-ilmu-sejati/