Salah satu krisis yang sedang dihadapi masyarakat terutama umat Islam saat ini adalah rasa malu. Seringkali orang nekad berbuat maksiat seperti judi, mabuk, zina, mencuri, padahal norma agama dan adat melarangnya. Tidak punya rasa malu.
Tak jarang orang berani melanggar peraturan publik dan norma sosial dikarenakan defisit rasa malu. Kasus yang kerap kita jumpai adalah pelanggaran peraturan lalu lintas. Orang bersepeda motor di jalan raya tidak mau pakai helm, padahal dia mengenakan peci atau jilbab, yang berarti dia adalah orang yang beragama. Atau orang berpeci haji tapi nekad menyerobot antrean orang lain. Di mana rasa malunya?
Malu adalah sikap seseorang yang takut perbuatannya bisa menimbulkan aib atau kehinaan dirinya dan orang lain. Karena itu, ia akan Menjaga diri dari perbuatan buruk dan tidak pantas (tidak patut). Rasa malu adalah pemantik seseorang untuk berbuat baik dan meninggalkan keburukan.
Orang mulia hatinya akan dihiasi rasa malu sehingga akan selalu menjaga kehormatan (muru’ah). Sikap, perkataan dan perbuatannya diliputi kebaikan. Sebaliknya, orang yang hatinya kosong dari rasa malu tidak peduli dirinya akan terjerembab dalam kehinaan.
Singkat kata, rasa malu akan mendorong seseorang untuk menghindari setiap maksiat dan keburukan, serta membuka diri terhadap kebaikan dan keutamaan.
Malu merupakan akhlak para Nabi dan orang-orang sholih yang terpuji. Dalam Hadits sahih tentang cabang iman yang sering kita dengar, dijelaskan bahwa iman itu banyak cabang, dan malu termasuk salah satu cabang dari iman.
Bahkan dalam sebuah Hadits hasan dari Ibnu Majah, Rasulullah bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا وَخُلُقُ الإِسْلاَمِ الْحَيَاءُ
“Setiap agama mempunyai akhlak, dan akhlak Islam adalah rasa malu”
Dengan rasa malu, lelaki atau perempuan akan tampak lebih anggun atau ganteng. Sebaliknya orang ganteng atau cantik, tanpa rasa malu akan berubah menjadi jelek perangainya.
Masalahnya sekarang, sudahkah umat Islam yang secara tegas memposisikan malu sebagai ajaran etika penting dalam ajaran agamanya, mampu menjadi pelopor kebaikan dalam ranah sosial dan publik? Kita bisa menggunakan indikator dari hal yang paling sepele: tidak membuang sampah sembarangan. Dari sini saja, krisis rasa malu itu terlihat mencolok.
Budaya malu (shame culture) juga masih belum dimiliki kalangan pejabat kita. Seorang pejabat merasa tidak perlu mengundurkan diri ketika terjadi skandal yang memakan banyak korban. Padahal, kalaupun tidak merasa bersalah, sekurang-kurangnya merasa malu akan lebih terpuji.
Agaknya, revolusi mental yang sering digembar-gemborkan dalam masyarakat perlu dimulai dari rasa malu ini. Malu jika harus melanggar nilai-nilai agama, norma lingkungan, sosial dan kemanusiaan. Wallahu a’lam.