Agus Salim (1884-1954) pernah berpesan kepada dua temannya, KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama), saat membangun pesantren, ”Ajari santrimu agar jangan mendewakan guru hingga melupakan Nabi Muhammad.”
Apa yang dikhawatirkan KH. Agus Salim menjadi sesuatu hal yang wajar karena kedua temannya adalah kyiai di pesantren. Dikhawatirkan akan muncul kefanatikan dikalangan santri yang akhirnya menimbulkan pengkultusan terhadap sesuatu benda, tempat, kelompok, golongan, keturunan dan seterusnya yang dianjurkan oleh kyiainya.
Sayangnya proses fanatisme dan pengkultusan yang dikawatirkan KH. Agus Salim justru berkembang di luar pesantren. Lebih ironi lagi saat muncul golongan atau kelompok tertentu yang merasa (paling) benar dan menyatakan paham/aliran (yang dianggap menyimpang dari kelompoknya) di luaran sana adalah salah.
Menurut saya, keyakinan ini belum sepenuhnya membahayakan. Keadaan akan berbahaya jika klaim kebenaran itu diwujudkan dalam suatu kebencian dan keinginan untuk merusak/memusnahkan pihak yang dianggap tidak segaris dengannya. Kemudian kelompok yang tidak sependapat, secara resmi mempertembokkan diri dengan aliran atau golongan lain di dalam masyarakat (Muslim), dan masuk dalam padatan kelompok, organisasi, atau aliran sektoral. Kemudian di dogma klaim kebenaran tunggal dan terjebak dalam ego keakuan.
Fenomena ini mengingatkan saya pada Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) bersama Kyai Kanjeng dalam suatu kesempatan. Beliau mengatakan orang atau kelompok tertentu tidak seharusnya melarang manusia untuk beribadah sesuai yang diyakininya. Orang Islam juga tidak boleh menilai bahwa cara yang dilakukan oleh organisasi atau kelompok tertentu itu termasuk haram. Misalnya NU, Muhammadiyah, LDII dan sebagainya, itu bukan agama, hanya jalan untuk ngaji belajar agama.
Jadi, yang berhak menyatakan haram itu Allah. Bila masing-masing, berdasarkan klaimnya, menganggap yang lain tidak sesuai dengan ajaran Islam, berarti mereka belum bisa membedakan apa itu ketela, apa itu getuk. Ketela bisa dibikin kripik, gethuk, dan olahan makanan lainnya.
Jika ada orang yang makan getuk itu marah-marah dengan orang yang makan kripik, itu berarti tidak pas. “Lah wong asale nggih sami, asale niku saking tela, nggih napa mboten? (Sebab asalnya juga sama. Jadi jangan bertengkar hanya karena perbedaan makan getuk dan kripik)
Apa yang diungkapkan Cak Nun itu setidaknya memberikan titik terang bagi kita dalam menyikapi perbedaan. Kita seharusnya kembali mengingat, bahwa Islam sudah jelas mengajarkannya.
Piagam Madinah menjadi bukti kongkrit kearifan nabi dalam menyikapi perbedaan. Nabi Muhammad tidak arogan terhadap masyarakat dan orang-orang yang menolak kenabian dan wahyu-wahyu diperolehnya. Mengajak mereka bertemu dan berdialog. Beliau menulis surat, berdiskusi, dan sebagainya dengan cara damai, dan santun.
Namun untuk urusan ibadah mahdoh (ibadah yang terikat waktu, tempat, dan tata caranya), Nabi dan sahabat melaksanakan dengan ajaran masing-masing. Seseorang yang masih mengklaim bahwa ia yang paling benar, baru sampai pada tahap ana insan (aku manusia dengan ego pribadi), dan belum masuk pada ranah ana Abdullah (abdi Allah), yang selanjutnya akan meningkat pada ana khalifah (makhluk yang diserahi untuk mengelola alam semesta) (Slilit Sang Kiai, 1992)
Pemahaman konfrehensif tentang ketiganya biasanya akan ada di pesantren. KH. Saifudin Zuhri (1919-1986) dalam Guruku Orang-Orang dari pesanten (LKIS, 2012) mengingatkan pembaca bahwa pesantren tidak sekedar mengajarkan individu mengenali diri dan Tuhannya, juga mengajarkan individu sebagai khalifah.
Beliau mencairkan kembali peran pesantren di masa lalu dalam peranannya sebagai khalifah untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan, mengembangkan nasionalisme, dan membentuk karakter anak bangsa.
Pemahaman serupa juga bisa kita lihat dari perjuangan KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dalam film Sang Pencerah (2010) dan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama) dalam film Sang Kiai (2013).
Mereka menerapkan ana khalifah dalam misi perjuangan. Dibalik semua pengorbanan itu, ulama-ulama di masa lampau mengajarkan hal yang sama, “Jangan fanatik, karena fanatik itu tanda kebodohan”. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari KH. Ahmad Dahlan dalam Sang Pencerah.
Fanatisme hanya akan menimbulkan sekat-sekat dalam beragama. Jika ada rasa kemarahan karena agama yang dicinta itu dihina atau diselewengkan orang yang tidak sepaham, tentu wajar.
Tetapi jika kemarahan itu ditindaklanjuti dengan kekerasan, justru nantinya akan merusak citra agama itu sendiri. Agama seharusnya membawa pesan perdamaian, kerukunan, dan toleransi. Kita berharap ulama/kyiai tiap aliran mampu memberikan pencerahan dan menghindarkan kefanatikan pada individu/kelompok sekotoral. Amin.
*) Esais dan Peminat masalah sosial keagamaan, bergiat di Bilik Literasi Solo