Ketimbang pemerintahan sebelumnya, menjadi presiden di era pertumbuhan digital mikro-blogging saat ini begitu menyulitkan. Jika tidak hati-hati, presiden akan ditimpakan persoalan atas atas semua yang terjadi di Indonesia yang seringkali di luar yuridis formal pekerjaannya, tidak terkecuali urusan hilangnya foto di Instagram (IG). Usai bertemu dengan Rizieq Shihab, bersama dengan Prabowo, Amien Rais kemudian berfoto bersama. Foto ini ini merupakan bukti penjajakan untuk menggagas koallisi yang disebutnya sebagai koalisi keumatan. Perjumpaan ketiga tokoh tersebut sebelumnya juga sudah beredar, khususnya di sejumlah WhatsApp grup. Namun, saat foto monumental tersebut ingin dipasang di akun Instagram amienraisofficial yang memiliki 51, 2 ribu followers pada 3 Juni 2018, tiba-tiba IG berkali-kali menghapus foto tersebut.
Bagi Amien Rais, penghapusan foto secara pihak berkali-kali tersebut merupakan pembuktian bahwa kebebasan berekspresi yang bertanggungjawab yang menjadi salah satu agenda reformasi telah diciderai. Tindakan itu seakan mengembalikan kepada Indonesia pada era yang represif seperti Orde Baru, di tengah kebijakan-kebijakan populis yang dianggap mengandung kepalsuan seperti Orde Lama. Karena itu, dari penghilangan foto tersebut, mengajak semua untuk “menantikan terang setelah zaman-zaman gelap, bukan sebaliknya”, dengan membuat tagar #selamatkanindonesia.
Hilangnya foto ini membuat marah para pendukungnya, tidak terkecuali kubu oposisi yang bersama Amien Rais. Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Gerindra dan Wakil Ketua DPR RI, misalnya, menganggap bahwa hilangnya foto tersebut merupakan kekuatan tangan-tangan tidak terlihat yang memperlakukan sensor sehingga bisa memberangus demokrasi dan alat-alatnya yang dianggap sah di ruang publik (www.detik.com, 6 Juni 2018). Di sisi lain, ada yang menganggap bahwa ini merupakan bentuk kepanikan pemerintah Indonesia atas koalisi keumatan yang diinisiasi atas pertemuan di Mekkah tersebut.
Dengan kata lain, menurut Hanum Rais, puterinya, Amien Rais, sebagaimana diungkapkan di akun IGnya pada 4 Juni 2018, hilangnya foto tersebut bukan karena ramai-ramai dilaporkan, tapi adanya sistem yang bekerja, di mana itu merupakan pesanan yang berkuasa dengan membuat algoritma face detect untuk HRS (Habieb Rizieq Shihab). Ada “sistem yang bekerja” untuk menghapus foto tersebut (www.detik.com, 4 Juni 2018). Tidak berhenti di sini, Slamet Maarif (Ketua Persaudaraan Alumni Gerakan Aksi 212, dengan sangat serius, akan melaporkan Instagram ke Mahkamah Internasional. Dasarnya sudah sangat jelas, yaitu “melanggar hak setiap orang untuk ber-posting mengirimkan gambar di medsos” (www.okezone.com, 6 Juni 2018).
Atas tuduhan tersebut, Ali Ngabalin, juru bicara Presiden, mengganggap bahwa Amien Rais tidak boleh GR (Gede Rasa). Selain memiliki sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan, Jokowi dan menteri-menterinya, jika sekedar mengurusi foto tersebut, seperti orang yang tidak punya pekerjaan saja. Ucapan Ngabalin ini diamini oleh Rudiantara, Menkoinfo. Menurutnya, pemerintah hanya berkaitan dengan konten-konten yang negatif, khususnya, antara pengguna dengan penyedia fasilitas serta hak-hak yang terkait dengannya. Bahkan, menurut Rudiantara, kemungkinan dicabutnya foto itu dua; foto tersebut di take down (dicabut) sendiri atau ada orang yang ramai-ramai melaporkan. Meskipun, sebagaimana diakuinya sendiri, semua itu merupakan otoritas Instagram (www.detik.com, 5 Juni 2018).
Jika bukan pemerintah dan pihak Amien Rais sendiri yang mencopot, lalu siapa? Ada yang berpendapat itu dilakukan oleh Instagram sendiri. Hal ini dilakukan setelah Facebook sekaligus juga Instagram dan mikro-blogging lainnya menemukan teknologi artificial intelligence yang tidak hanya bisa mendeteksi wajah para teroris melainkan juga jaringannya melalui kata-kata kunci tertentu. Ini diperkuat dengan pernyataan Monika Bicker, Direktur Facebook Bidang Manajemen Kebijakan Global dan Brian Brisman Fishman, Manajer Kebijakan Facebook Konter Terorisme, di mana mereka sedang memperkuat algoritma Facebook yang terkait dengan terorisme yang dilakukan oleh Al-Qaeda dan ISIS dan juga menggunakan teks bahasa untuk mengerti bagaimana sinyal-sinyal aksi terorisme itu digunakan. Ini tidak hanya diterapkan di Facebook melainkan juga kepada keluarga satu perusahaan besarnya, seperti Instagram, Twitter dan WhatsApp (Heilweil, 15 Juni 2017).
Di sisi lain, merujuk informasi yang disuguhkan oleh TRAC (Terorrism Research and Analysis Consortium) FPI masuk dalam daftar dan diasumsikan sebagai teroris lokal di mana tujuannya adalah menerapkan syariat Islam (www.trackingterorrism.org, dikutip pada 10 Juni 2018.
Namun, tesis ini gugur dengan sendirinya, apabila kita mengecek kembali dengan menggunakan tagar #rizieqshihab yang berisi 4409 kiriman foto dan video. Kebanyakan foto dan video tersebut terdapat gambar Rizieq Shihab, baik lama ataupun baru. Bahkan, Rizieq Shihab bisa berfoto dengan para pendukungnya dan orang-orang yang dekat dengannya. Karena itu, terkait dengan misteri hilangnya foto Facebook ini saya lebih percaya bahwasanya foto itu sebenarnya ada yang melaporkan secara ramai-ramai bahwa foto itu bermasalah dan melanggar kode etik yang diterapkan oleh Instagram. Namun demikian, siapa sebenarnya yang peduli atas hilangnya sebuah foto tersebut?
Di sini, saya melihat bukan hilangnya sebuah foto yang menjadi faktor terpenting, karena itu bisa dipasang di akun media sosial lainnya. Yang terpenting adalah memanfaatkan momentum kehilangan tersebut sambil terus menguatkan bahwa rejim yang berkuasa ini sedang mengebiri ekspresi kebebasan sipil yang sesungguhnya didapatkan oleh masyarakat pasca reformasi. Pengaruh ini yang terus dikuat-hembuskan untuk menggerogoti legitimasi kekuasaan rejim Jokowi.
Di tengah itu, Amien Rais, sosok gerbong lokomotif reformasi, bisa muncul kembali sebagai pahlawan untuk mengembalikan reformasi dan demokrasi ke jalan yang benar. Hal ini tentu saja bercermin kepada sosok Mahathir Mohamad yang berhasil menumbangkan UMNO melalui pemilu raya sebulan kemarin. Tanda-tanda itu sudah terlihat, Amien Rais siap mencalonkan diri sebagai penantang kuat Jokowi pada Pilpres 2019. Meskipun, politik elektoral satu orang satu suara (one man one vote) akan menjadi penentu, apakah popularitas dan sejumlah ucapan kontroversinya membuat masyarakat mau mendukungnya dalam Pilpres tahun depan atau tidak. Dalam percakapan lini masa media sosial, banyak dari warganet yang bersemangat mendukungnya untuk maju dalam Pilpres.
Meskipun mendukung, tidak banyak juga dari mereka yang mau memilihnya. Tapi, bukankah jodoh dan takdir di tangan Tuhan? Apapun memiliki kemungkinan bisa terjadi.
Ayo maju Amien Rais jadi capres 2019!