Pakaian atau busana sesungguhnya tidak memiliki agama. Perkataan busana yang disifati dengan agama tertentu seperti “busana Muslim”, “busana Hindu”, “busana Kristen” dan seterusnya hanya sebatas identifikasi simbol yang sebenarnya bermasalah. Pasalnya tidak ada agama yang murni memiliki simbol di dalam busana.
“Busana muslim” menjadi istilah keseharian karena keberhasilan industri busana dalam menciptakan pasar. “Busana muslim” dalam istilah tersebut tidak bisa dipahami sebagai busana yang hanya boleh digunakan oleh orang Islam saja, yakni penganut agama lain tidak boleh memakainya, juga tidak boleh dipahami sebagai busana yang harus digunakan oleh seorang muslim dalam arti apabila tidak menggunakannya maka keislaman seseorang berkurang atau bahkan menjadi tidak islami. Dengan kata lain, busana bukan menjadi identitas keislaman seseorang.
Busana, sekali lagi, tidak punya agama. Agama berkaitan dengan iman atau kepercayaan yang terletak di dalam hati manusia, penampakan darinya terlihat dari ritual dan puncaknya berupa “amal saleh” atau perbuatan baik.
Dalam al-Quran tidak ada satu ayat pun yang menunjukkan makna kewajiban menggunakan pakaian dengan model atau warna tertentu, yang ada hanya kewajiban menutup aurat (QS. Al-A’raf 26). Adapun bentuk, model, motif, warna dan lainnya diserahkan kepada masing-masing individu sesuai dengan kebutuhannya, yakni untuk melindungi tubuh dari sengatan terik matahari atau menjaga tubuh dari cuaca dingin, untuk menghias diri supaya terlihat indah (tajammul wa tazayyun) atau menjaga diri dari serangan senjata atau benda-benda lain. Untuk melestarikan kebudayaan tertentu dan menyimbolkan nasionalisme atau memperkenalkan kebudayaan lain dan seterusnya, semuanya diserahkan kepada masing-masing individu.
Tujuan yang tidak diperbolehkan yaitu jika digunakan untuk menyombongkan diri. Dalam hadis disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw melarang orang yang berpakaian panjang sampai menutup mata kaki hingga menempel ke tanah karena sombong, tapi Nabi Saw tidak melarang Abu Bakar berpakaian seperti itu, karena Abu Bakar tidak bertujuan menyombongkan diri (khuyala`). (HR. Ahmad 5351, Bukhari 5784, dll).
Penegasan Islam yang tidak mementingkan bentuk, model, motif, gaya dan warna dalam berpakaian ini dinyatakan dalam QS. Al-A’raf 26 bahwa “pakaian takwa” (libas at-taqwa) itu lebih baik. Ibnu ‘Abbas, sahabat Nabi Saw yang mendapat gelar tarjuman al-Qur`an atau juru bicara al-Quran menafsirkan “pakaian takwa” dengan “perbuatan baik” (al-‘amal ash-shalih). (Ath-Thabari, 2000: XXII, 367).
Dalam ayat yang membicarakan tentang fungsi pakaian sebagai penutup aurat di atas, “pakaian” disebut dengan “libas”, bukan “tsiyab” atau “sarabil” yang juga digunakan al-Quran untuk menunjukkan makna serupa, yakni “sesuatu yang dipakai”, karena kata libas tidak sekedar bermakna “pakaian” yang bisa dilepas lalu berganti pakaian lain, kemudian dipakai lagi, tapi maknanya yaitu “pakaian yang selalu melekat”. Artinya, ayat tersebut sebagai perintah untuk selalu menutup aurat dan selalu mengerjakan amal kebajikan.
Jadi, “busana muslim” menurut Islam bukan tentang model dan warna tertentu, tapi tentang menutup aurat dan berbuat baik kepada sesama. Dalam hadis dinyatakan bahwa Allah tidak mempedulikan penampilan seseorang, yang Allah perhitungkan adalah hatinya, yakni ketakwaan yang menjadikan anggota tubuh dapat berbuat baik secara reflektif.