Sekilas sebagian orang yang menggunakan istilah “hijrah” bermaksud untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa dirinya sedang berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dan meninggalkan masa lalu yang kelam atau semua perbuatan maksiat. Penggunaan kata “hijrah” untuk menyebut praktik hidup demikian secara bahasa salah, karena dalam ajaran Islam praktik seperti ini disebut dengan “taubat”.
Jika diamati, para pengguna kata “hijrah” untuk menyebut aktivitas kesehariannya yang berusaha meninggalkan masa lalu yang ia anggap buruk memiliki sikap eksklusif dan benci terhadap pemerintah. Fenomena ini mengantarkan kepada dugaan bahwa penggunaan kata “hijrah” sengaja dipakai untuk menutupi agenda politik busuk yang tersimpan di balik istilah yang sesungguhnya sangat islami itu.
Hijrah dalam kajian Islam yaitu meninggalkan wilayah atau keadaan masyarakat yang di dalamnya kekufuran atau kemaksiatan merajalela. Dalam literatur Islam banyak dijelaskan apabila seorang muslim berada di negara kafir (darul kuffar) maka dianjurkan untuk “hijrah” atau berpindah ke negara Islam (darul Islam), atau jika seorang muslim berada di tempat yang mayoritas penduduknya melakukan maksiat sementara ia tidak bisa mengubahnya maka dianjurkan untuk berpindah tempat domisili meski harus meninggalkan harta benda.
Kenyataannya orang-orang yang menggunakan kata “hijrah” itu tidak berpindah tempat domisili, misalkan keluar dari Indonesia, tapi hanya mengubah penampilan simbolik seperti memanjangkan jenggot dan bercelana cingkrang bagi pria, dan memakai hijab atau cadar bagi perempuan sembari mengganti sebutan kawan atau sahabat dengan “akhi-ikhwan” dan “ukhti-akhwat”, mengubah sebutan ke ayah atau suami menjadi “abi”, ke ibu atau istri menjadi “ummi” dan “walad” ke anak-anak.
Dari sisi sikapnya orang-orang ini cenderung eksklusif terhadap umat Islam atau pemeluk agama yang berbeda dan kerap membenci pemerintah. Karena itu tidak salah jika fenomena “hijrah” ini memunculkan dugaan bahwa sebenarnya hal tersebut memiliki agenda politik mengubah dasar-dasar negara yang sudah menjadi konsensus di kalangan para pendiri bangsa dengan memulai dari eksklusivisme dalam beragama dan membenci pemerintahan yang sah, terlebih gerakan hijrah banyak yang berafiliasi ke kelompok yang mengkhayal berdirinya khilafah islamiyah, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Karena itu bagi yang sekarang merasa “sedang hijrah” kiranya perlu waspada, jangan sampai dugaan di atas ternyata benar adanya. Jika demikian, maka segeralah berbalik arah untuk mencari jalan berislam yang sesungguhnya dengan mencari guru ngaji atau majelis pengajian yang tidak menebar kebencian dan permusuhan. Jangan sampai niat awal berusaha menjadi orang baik, taat dan bertakwa, namun di tengah jalan malah dibelokkan menjadi orang yang memusuhi saudara seagama dan membenci terhadap negara dan bangsanya.