Suatu hari, aku diajak K.H.A Wahid Hasyim menengok Pak Dirman, Panglima Besar. Sudah beberapa hari beliau sakit yang sangat keras.
“Saya sakit, Mas Wahid…,” Pak Dirman sambil berbaring mengulurkan tangan kepada K.H.A. Wahid Hasyim.
“Semoga lekas sembuh…,” sambut K.H.A. Wahid Hasyim.
“Apa kabar Saudara?” Pak Dirman memalingkan pandangannya kepadaku dan tangannya kusalami.
“Apa sakitnya Mas Dirman?” tanya K.H.A. Wahid Hasyim.
“Paru-paruku. Kata dokter, tinggal satu yang berfungsi,” Pak Dirman menjawab sambil batuk-batuk. Kami semuanya diam, amat terharu aku melihat Panglima Besar yang sedang berbaring. Badannya bertambah kurus saja, dan kelihatan pucat karena kekurangan tidur. Beliau melayangkan pandangannya kepadaku sambil bertanya:
“Sudah lama kita tidak saling ketemu. Apa masih memimpin Hizbullah?”
“Pak Dirman kelewat sibuk, aku tidak sampai hati mengganggu Pak Dirman. Dan aku masih bersama anak-anak Hizbullah,” jawabku.
Aku dan Pak Dirman telah lama berkenalan, sejak sebelum Jepang datang. Kami berasal dari satu daerah, Banyumas, dan sama-sama menjadi guru sekolah swasta. Aku biasa memanggilnya dengan sebutan “Mas”, tetapi sejak beliau menjadi Panglima Besar, rasanya panggilan “Mas” itu tak begitu sedap lagi. Sejak itu aku memakai panggilan “Pak” kepadanya. Mula-mula beliau keberatan atas perubahan ini, tetapi aku katakan, biarlah demikian, soalnya wajar saja. Aku berpikir, yang harus menghormati seorang pemimpin, mula-mula hendaklah kawannya sendiri.
“Mas Wahid, saya kira Mas baik sekali kalau datang lagi ke Bung Karno, untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya dewasa ini. Kemarin dahulu saya katakan kepada beliau tentang persoalan kita dengan Belanda. Janganlah hendaknya pemerintah meremehkan kemungkinan Belanda melakukan serbuan ke Yogya. Saya seorang militer, saya menghargai pandangan politik pemerintahan, akan tetapi pandangan secara militer juga hendaknya dipertimbangkan,” Pak Dirman memulai dengan pembicaraan tingkat berat. Karena yang perlu menanggapi masalah berat ini K.H.A. Wahid Hasyim, maka aku ingin menjadi seorang pendengar saja.
“Saya sudah ketemu Bung Karno, juga Bung Hatta. Saya bisa mengerti politik diplomasi pemerintah, akan tetapi diplomasi tanpa kekuatan militer hampir tak ada gunanya. Sebab itu, menurut saya, biarkan saja kalau terjadi pertempuran-pertempuran antara Belanda dan anak-anak kita, agar Belanda menyadari bahwa kita juga mempunyai kemampuan tempur. Kekuatan kita berangsur-angsur lebih dibanggakan, hal itu perlu bantuan moril dari kaum diplomat kita,” demikian K.H.A. Wahid Hasyim.
“Yang sudah lama saya khawatirkan, kini benar-benar terjadi. Orang-orang komunis menusuk dengan belati di punggung kita, ketika kita sedang menghadapi Belanda. Yang saya pikirkan, bila sewaktu-waktu Belanda menyerbu ke Yogya, kekuatan militer kita jangan tercerai berai. Itu sebabnya saya perintahkan kepada Markas Besar untuk mempercepat penghancuran terhadap pemberontakan PKI di Madiun. Alhamdulillah, Tuhan merahmati perjuangan kita,” Pak Dirman berhenti bicara, air matanya mulai menggenang. Kami semua terharu.
Aku sudah cukup lama duduk menyertai dua orang penting ini. Yang satu Panglima Besar dan satunya penasehatnya. Barangkali akan ada pembicaraan yang hanya berdua saja boleh tahu, maka aku permisi akan keluar sebentar dengan alasan akan telepon. Aku berada di kamar ajudan untuk mengadakan pembicaraan telepon dengan K.H. Masykur, Menteri Agama. Aku katakan kepada beliau bahwa ada sebuah pesan dari K.H.A. Wahid Hasyim agar beliau menanti di hotel “Merdeka”.
Aku kira-kirakan bahwa pembicaraan empat mata sudah selesai. Aku segera masuk ke ruang tidur Pak Dirman, di mana beliau menerima kami sambil berbaring sejak tadi. Ternyata pembicaraan empat mata tinggal ekornya saja. Aku cuma menangkap pembicaraan K.H.A. Wahid Hasyim, beliau berjanji setelah menjumpai Presiden akan menemui Pak Dirman lagi di rumahnya.
Kami berpamitan. Pak Dirman memegang tanganku lama ketika kami bersalaman. Beliau meminta didoakan semoga lekas sembuh, dan meminta aku sering-sering datang. Aku sanggupi dengan ucapan Insya Allah! (KH Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren)