Muslim yang baik tidak mempertaruhkan keimanannya dengan gampang mempercayai berita bohong, apalagi ikut menyebarkannya. Apalagi, hidup di era informasi memang berat tantangannya. Ruang publik dan dunia maya dibanjiri dengan informasi. Sulit membedakan mana informasi yang benar, mana berita yang salah. Semua informasi bisa diakses lewat gawai, dan semua orang dijejali berita dengan kecepatan tinggi.
Setiap orang, baik itu keluarga, teman dekat, teman baru atau yang lama, teman kerja atau pergaulan, atau teman satu sekolah, semua bisa terhubung langsung lewat media sosial (FB, Instagram, Telegram, Twitter, dsb.), dan bisa saling bertukar informasi hanya dengan pencet tombol gadget.
Orang sangat susah untuk memverifikasi apakah kabar yang diterimanya benar atau tidak. Kebanyakan orang cenderung cepat menelan mentah-mentah informasi yang diterima, dan langsung mempercayainya sebagai kebenaran. Padahal belum tahu pasti informasi tersebut gosip atau fakta.
Di tengah situasi seperti inilah, tumbuh merebak ujian kebencian, satu sama lain gampang menghujat, mencaci, mengafirkan, saling olok-olok dan melecehkan. Apalagi menghadapi musim politik (Pemilu) publik terus dikondisikan dengan situasi kebencian dan ketegangan antar kelompok politik lawan.
Sebagai seorang Muslim, kita dituntut selalu mengedepankan kebenaran dan kejujuran. Selalu berpandangan positif terhadap orang lain (husnudhon), jujur dan berkata benar (shidq), bisa dipercaya dan bertanggung jawab (amanah).
Oleh karena itu, jika menerima berita atau informasi tentang seseorang, pertama kali kita perlu mengecek kebenarannya, jangan buru-buru membagikan (share) ke orang lain. Tanyakan terlebih dahulu kepada orang yang bersangkutan secara langsung.
Jika sudah dapat informasi dari orang yang bersangkutan, dan sekiranya informasi yang beredar itu tidak benar, maka Anda bisa ikut menyampaikan klarifikasi seperti apa yang sebenarnya. Jangan biarkan atau berdiam diri ketika teman-teman sekitar Anda termakan informasi yang bohong. Inilah yang disebut dengan tabayun. Dan sebagai seorang muslim harus terbuka untuk bertabayun.
Baru-baru ini terdapat survei yang dilakukan oleh Universitas Yale terhadap 1000 orang responden, menghasilkan bahwa seseorang yang suka khayalan (delusional) dan berpikiran dogmatis lebih mudah untuk mempercayai berita bohong (fake news). Penelitian ini juga menawarkan dua hal yang bisa melindungi diri dari berita palsu: pertama secara aktif berpikiran terbuka (open minded), terlibat mencari alternatif penjelasan dan menggunakan data atau bukti untuk merevisi berita yang kadung dipercaya.
Kedua, menghindarkan diri terseret arus pemikiran seseorang yang delusional dan mudah bercaya berita palsu tersebut. Berpikiran terbuka dan mengembangkan pemikiran analitis dapat membantu mencegah efek berita palsu.
Di Indonesia belakangan ini juga telah muncul inisiatif gerakan masyarakat untuk memerangi berita bohong, yaitu Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Mereka membangun jaringan di daerah dengan aktif melakukan kampanye anti-hoax dan melakukan pendidikan literasi kepada masyarakat. Jaringan ini juga membuat platform https://turnbackhoax.id/ untuk melayani aduan tentang berita palsu, lalu membantu memverifikasi apakah kabar tersebut benar atau tidak. Gerakan ini layak untuk kita dukung.
Kesadaran akan bahaya berita bohong juga sudah mulai disadari oleh para wartawan dan para profesional yang bekerja untuk media. Apalagi kode etik profesi ini menuntut untuk memberitakan kebenaran, dan informasi yang diberitakan harus berdasarkan fakta. Belakangan ini mulai ada kerjasama sindikasi antar media mainstream dengan membuat platform cek-fakta yang diikuti lebih dari 20 media mainstream. Kerjasama ini cukup membantu mengecek fakta terhadap informasi yang beredar di masyarakat.
Di Inggris malah sudah ada aplikasi bernama full-fact (https://fullfact.org/) inisiatif dari komunitas masyarakat yang membantu para reporter untuk mengecek informasi yang benar agar terhindar dari berita palsu. Dalam aplikasi ini ditampilkan thread tentang informasi yang salah, dari mana kabar itu tersebar, dan sudah sejauh mana tersebarnya. Aplikasi ini juga menyediakan trend akun sosmed yang dibuat oleh para politisi, dan memverfikasinya dengan wawancara. Hal ini akan membantu masyarakat agar tidak bingung akibat simpang-siur berita politik. Aplikasi seperti ini sangat dibutuhkan di Indonesia.
Untuk membentengi umat dari kubangan berita bohong dan ujaran kebencian, ormas Islam di Indonesia juga sudah melakukan langkah-langkah antisipasi. Muhammadiyah belakangan ini telah menerbitkan fikih informasi sebagai panduan menyikapi era informasi di kalangan jamaahnya. Sementara NU juga secara tegas mengharamkan ujaran kebencian dan mengedarkan berita bohong, yang dipututkan dalam Munas NU di Lombok tahun ini.
Kita tidak ingin masyarakat luas, terutama generasi muda sekarang ini, terkungkung dalam suasana kebodohan. Bodoh (jahl) seperti yang digambarkan oleh Imam Jalaludin al-Mahalli dalam Syarah al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh adalah menggambarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Jika orang tersebut mempercayai ketidakbenaran tersebut, oleh al-Mahalli dikategorikan sebagai kedunguan (jahl murakkab).
Di dalam ajaran Islam, menyebarkan kebohongan dianggap sebagai perilaku khiyanat dan dosa besar yang harus dihindari oleh setiap orang yang beriman. Oleh karena itu, segala upaya yang dilakukan oleh perseorangan ataupun kelompok, untuk mencari kebenaran melalui cek fakta, tabayun, perlu disambut dan mendapatkan dukungan agar masyarakat Indonesia terbebas dari kebodohan. Wallahu a’lam.