Fafirru ilallaah! “Bersegeralah menuju ke Allah.” Dalam bahasa jawa, menuju ke kulon (barat) dikatakan ngulon, ke kidul disebut ngidul. Konon, ngalah dulunya bukan bermakna memilih kalah, namun diartikan menuju ke Allah. Maka ada ungkapan wong ngalah luhur wekasane yang maknanya kurang lebih: orang yang menuju Allah atau tujuan hidupnya hanya karena Allah akan mulia pada akhirnya (husnul khatimah).
Dalam tradisi tasawuf dikatakan banyak jalan menuju Allah bahkan dalam kegiatan yang tampak profan sekalipun. Tetapi dalam perkara profan, konteksnya ada pada dimensi batin, atau matra keempat dalam alam manusia: rasa. Inilah yang sering tidak dipahami dan bahkan ditolak oleh mereka yang hanya berkutat pada aspek hukum saja.
Jadi “ngalah” dalam pengertian ini bukan dalam konteks relasi sosial semata, melainkan lebih banyak dalam konteks kesadaran batin. Orang yang “ngalah” dalam pengertian ini dikatakan akan diperjalankan oleh Allah, berjalan bersama Allah, berjalan di dalam Allah.
Kondisi ini adalah rahasia, tertutup, ada dalam rasa batin yang dalam — orang lain tidak akan mengetahuinya (kecuali diberi tahu oleh Tuhan). Hanya diri yang mengalami hakikatnya yang tahu apa, bagaimana, dan seperti apa rasanya diperjalankan oleh Allah, berjalan bersama Allah, berjalan di dalam Allah.
Hanya yang menjalaninya yang akan melihat, mendengar dan merasakan langsung warna-warni tajalli Ilahi sebagaimana adanya dan sebagaimana yang Dia kehendaki, bukan sebagaimana yang kita pikirkan dan duga-duga dengan segala rupa teori tentang Tuhan dan manusia.