Perdebatan soal politik masuk masjid menjadi ramai dan mengarah pada dua kutub yang berlawanan arah. Mereka yang membolehkan biasanya mengambil analogi pada zaman nabi Muhammad yang memakai masjid menjadi tempat mendiskusikan semua hal. Sebaliknya, mereka yang berpendapat tidak boleh beralasan masjid sudah dinodai dengan politik praktis yang kotor. Hal itu terbukti, sejak masa Bani Umayyah, khutbah di masjid setiap jumat digunakan untuk mencaci maki sahabat sekaligus menantu nabi, Ali bin Abi Thalib RA.
Perdebatan ini sebenarnya melupakan bahwa kita sekarang tidak lagi melihat masjid sebagai wadah yang bisa mengumpulkan seluruh unsur masyarakat untuk mendiskusikan kepentingan bersama. Sebab, sadar atau tidak, umat adalah sebuah ruang imajiner di mana semua perbedaan yang ada dalam agama Islam bisa bertemu. Dan masjid seharusnya bisa mewadahi segala perbedaan dari agama kita ini. Seperti prosesi ibadah Haji bisa mengumpulkan semua perbedaan dan bertemu dengan segala cerita merangkainya dari lucu hingga cerita stereotype akan satu golongan atau asal wilayah.
Saat masjid bisa menjadi wadah untuk bertemunya segala perbedaan dalam bingkai perdamaian dan penerimaan, maka masjid akan menjadi sebuah ruang publik yang diandaikan oleh Habermas sebagai wadah semua golongan masyarakat mendiskusikan kepentingan bersama. Saat itu terjadi masjid akan lebih mendamaikan bukan malah jadi rebutan wacana apa yang diperbincangkan di dalam masjid. Masjid sebenarnya tidak bisa lagi mengelak sebagai ruang publik di mana semua muslim bisa berkunjung, beribadah, berdiskusi dan lain-lain di dalamnya.
Namun, pemahaman ideal soal masjid ini memang sulit diwujudkan jika kita berkaca dengan kondisi masyarakat muslim kita. Sebab dengan mengeras dan meruncingnya perbedaan yang bisa memancing aksi penyerangan terhadap mereka yang berbeda adalah hal lumrah sekarang ini. Oleh sebab itu, memandang masjid sebagai ruang publik yang ramah akan perbedaan dalam agama kita perlu dipertimbangkan ulang.
Kesalahan ini bukan pada masjid, namun jelas pada perilaku kita sebagai umat muslim tidak menempatkan masjid sebagai tempat berkumpul perbedaan tersebut.
Perdebatan pada mengobrol politik atau penggunaan masjid sebagai sarana dalam politik praktis sebenarnya sudah tidak lagi bisa dihindari sebagaimana disebutkan di atas, sebab masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam ini kebanyakan menjadi “pakar” dalam perpolitikan praktis. Sebab, beberapa kali saya mendengar perbincangan Jemaah masjid saat pulang setelah melaksanakan shalat berjemaah selalu memperbincangkan hal-hal yang berbau politik. Kedatangan calon-calon yang akan berlaga di acara besar Islam di masjid juga merupakan bagian aksi politik praktis.
Kehadiran agama di ruang publik, terutama politik, maka kita mau tidak mau akan memperbincangkan hubungan masjid dan politik praktis. Maka, kita seharusnya menengok pada teori “hak akan kota” Henri Lefebvre, dan kita mentrasformasikan teori Henri Lefebvre tersebut ke masjid maka kita akan seharusnya mengatakan bahwa masyarakat muslim adalah subjek yang berhak untuk mengubah masjid sesuai dengan kebutuhannya.
Namun, menurut pandangan David Harvey, hak atas kota adalah, “bukan hanya sebagai kebebasan individu untuk mengakses sumber daya perkotaan, akan tetapi lebih dari itu, hak atas perkotaan adalah hak untuk mengubah diri kita melalui mengubah kota itu sendiri”. Harvey menegaskan bahwa proses ini adalah sebuah proses yang melibatkan aksi kekuasaan kolektif untuk mendorong proses perkotaan yang demokratis.
Bisakah pandangan David Harvey ini bisa juga berlaku pada masjid, inilah yang seharusnya menjadi pertanyaan kita semua. Sebab jika masjid sekarang ini masih belum bisa bertransformasi untuk menjadi wadah semua orang bisa mengakses masjid, tidak dibatasi atas pilihan politik, pilihan mazhab, pilihan-pilihan yang lainnya janganlah kita bisa berharap hak akan masjid yang ramah tersebut kita raih.
Di sinilah, kita sebagai umat muslim yang seharusnya bisa berubah dari sikap menghalalkan perundungan pada mereka yang berbeda ke sikap yang bisa menerima perbedaan dan ramah pada mereka yang berbeda. Maka, masjidpun akan dengan sertamerta akan berubah menjadi tempat yang ramah pada perbedaan. Selama kita belum merubah sikap, janganlah kita berharap hal tersebut bisa terjadi.
Akhirnya, memaknai masjid diserahkan secara penuh pada masyarakat muslim yang akan menentukan apakah masjid ini akan menjadi ramah atau garang akan perbedaan.
Talal Asad, salah satu pemikir muslim, memperingatkan bahwa jika agama akan masuk ke ruang publik dan masih membawa dendam perbedaan dan persoalan masa lalu, maka kehadiran agama hanya akan menjadi legitimasi penyingkiran pada mereka yang berbeda.
Merebut masjid dari pemanfaatan secara culas dari para politisi busuk sudah memang seharusnya dilakukan oleh masyarakat muslim.
Cara termudahnya jangan sampai masyarakat muslim terjebak pada sikap-sikap yang mencederai keberislaman kita yang selama ini sudah memberikan kedamaian di negeri tercinta Indonesia. Memaki, mengolok-olok, merundung mereka yang berbeda berbagai pilihan dengan kita adalah yang seharusnya dihindari.
Oleh karena itu, jika ada politisi, agamawan dan siapapun itu yang mengajak kita melakukan hal-hal tersebut, maka hanya akan satu kata: LAWAN!!!
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin