Betapa anu-nya Nalar Keislaman Kita

Betapa anu-nya Nalar Keislaman Kita

Berkali-kali kita dihadapkan dalam situasi masyarakat yang masih mempunyai nalar yang tertutup, eksklusif, dan enggan membuka diri.

Betapa anu-nya Nalar Keislaman Kita
Ilustrasi: Mengajar adalah salah satu jihad yang ada di sekitar kita

Tersebutlah seorang pemimpin kelompok ekstrimis Taliban di sebuah bilangan pegunungan Afghanistan hendak mengeksekusi seorang Ibu di hadapan suami dan tiga putrinya. Pasalnya, si Ibu itu dianggap telah melanggar hukum agama, dengan memberi pendidikan kepada tiga putrinya itu.

Ya, menurut hemat mereka, hukum Tuhan melarang anak perempuan di atas delapan tahun mendapat pendidikan. Perempuan itu ya mestinya menjadi pelayan. Bukan untuk dididik agar menjadi pintar.

Untungnya, itu hanyalah salah satu scene yang ditampilkan dalam film 12 Strongs. Kendati film itu konon diadaptasi dari kisah nyata mengenai konflik perang Amerika melawan kelompok teroris yang mengatasnamakan Islam.

Lepas bahwa itu bagian dari penyedap film atau memang diambil dari kenyataan yang sesungguhnya, adegan mencekam yang sangat tidak manusiawi dan hadir dalam film itu rasanya mirip sekali dengan situasi kita belakangan ini.

Bukan tentang tragedi pembunuhannya. Akan tetapi ekspresi keagamaan yang diperagakan dengan sangat anu dan penuh ironi.

Diakui maupun tidak diakui, disadari maupun tidak di sadari, agama, Islam khususnya hingga saat ini memainkan peranan yang cukup penting dalam setiap derap langkah kebanyakan manusia Indonesia.

Dan kenyataan itu secara otomatis menempatkan seorang agamawan dalam posisi yang cukup fundamental. Dengan kata lain setiap agamawan adalah seorang edukator yang bertanggung jawab untuk menjelaskan firman-firman Tuhan maupun sabda Nabi. Ia adalah rujukan sekaligus diikuti oleh umat.

Masalahnya, situasi itu juga beriringan dengan melimpah ruahnya seseorang yang gemar menyamar dan berlomba-lomba menjadi ahli agama. Justifikasi teologis yang dimainkan biasanya adalah sabda Nabi  ‘ballighu anni walau aayah’.

Maka, diktum itu dianggap sebagai basis legitimasi bahwa siapa saja berhak mendakwahkan agama. Tentu ini tidaklah keliru. Toh dalam Islam memang tidak ada mekanisme formal yang membakukan seseorang sehingga layak disebut sebagai ustaz, kiai, tuan guru, ulama, dan sebagainya.

Tetapi terkadang kita ternyata begitu bebal dengan begitu saja melegalkan simplifikasi fatwa saat memahami segenap firman Tuhan dengan logika-logika dungu.

Dalil amar ma’ruf nahi munkar umpamanya, tentu merupakan cita-cita yang mulia. Namun, kenyataannya seringkali jauh berbeda, sebagaimana yang diperagakan para ‘polisi moral’ dengan dalih membela Islam atau bahkan Tuhan sehingga melakukan kesewenang-wenangan dengan begitu picik di bawah panji “amar ma’ruf nahi munkar”.

Atau, agenda menegakkan keadilan yang dibalut dengan fantasi keislaman, justru diekspresikan dengan provokasi “bunuh Ahok si penista agama” pada penghujung 2016 lalu. Juga, upaya menghina seseorang dengan mencocokologikan ayat Alquran.

Begitu pun para ustaz atau siapa saja yang mendaku dirinya adalah dai yang malah mengumbar wajah Islam yang keras, pemarah, ngamukan, ngafirin dan segudang hasrat imperialisme lainnya.

Alhasil, salah-menyalahkan, sesat-menyesatkan, kafir-mengafirkan, menjadi hal biasa. Apalagi di ranah jagad maya yang penuh kebebasan. Fitnah, ujaran kebencian, provokasi memusuhi seakan terfasilitasi dan menjadi konsumsi sehari-hari.

Sungguh, pada titik inilah dakwah keislaman kita akhirnya menjadi terasingkan dari petuah adiluhung yang diserukan dengan tiga pola: bil-hikmah (dengan kasih sayang) atau mau’izhah hasanah (nasihat yang baik) atau jadilhum (berdialog atau berdebatlah) dengan ahsan (cara-cara yang baik).

Betapa tidak, perihal sunah Nabi umpamanya, tidakkah kita jengah dengan polemik artifisial yang dibalut dengan klaim-klaim kesalehan dan lalu dijadikan parameter umat Rasulullah. Kemudian pada detik yang sama, justru kita terkadang rentan merasa “lebih suci, lebih islami, lebih baik, dan lebih utama”.

Begitu pun perihal pengajian-pengajian yang disisipi politik itu harus. Dibayangkan dengan menjadikan masjid sebagai medan pertarungan politik, sokonyong-konyong kita akan bisa merubah Indonesia menjadi baldatun thayibatun wa Rabbun Ghafur dalam tempo lima tahunan.

Pun demikian dengan tagar #KhilafahituAjaranIslam. Seolah-olah bila kita menegakkan Khilafah Islamiyah, kualitas pemerintahan kita akan mencelat sangat tinggi setara dengan era keemasan Khulafaur Rasyidin.

Jelas, semua praktik reduksi terhadap marwah Islam itu dipantik oleh gaya simplifikasi dalil-dalil, sejarah-sejarah, dan komparasi-komparasinya yang mudah sekali kita unduh di internet untuk bekal dakwah.

Sehingga pada titik ini sangat masuk akal jika berimbas pada lahirnya pemahaman-pemahaman keagamaan yang dangkal. Dan sudah khittah-nya, apa-apa yang tidak mendalam itu cenderung berwatak sok benar, arogan, ngotot, serta pemaksa.

Yang mengerikan, meskipun tidak sesepesifik cupilkan film di atas, jika nalar berpikir dan ekspresi keislaman yang demikian anu itu sampai mematikan semangat ukhuwah kemanusiaan dan persatuan kita, maka sungguh lampu kuning ‘jahiliyah milenial’ sedang menyala berkedip-kedip di depan retina.

Anwar Kurniawan, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.