“Muslim apa kalian?”
Mari kita arahkan pertanyaan ini ke semua arah, termasuk ke diri sendiri (jika masih merasa Muslim). Nggak usah dikaitkan dengan pilihan politik Pilpres-pilpresan dulu.
“Muslim apa kalian?”
Kebetulan, Minggu pagi kemarin, itu dilontarkan oleh seorang ibu yang anaknya menangis ketakutan, kepada sekelompok pengepung dan perundung (pem-bully). Mau kaosnya apa si perundung, ya perundung adalah perundung. Mau kaos apa si Ibu yang bertanya itu, pertanyaannya tetap sah, penting, dan mengarah ke semua arah.
“Muslim apa kalian?”
Saya ajukan pertanyaan itu ke depan cermin.
Apa saya termasuk muslim yang dengan riang merundung rame-rame orang yang sedikit? Apa saya termasuk muslim yang merasa tak marah melihat perundungan kepada siapa pun, atau diskriminatif: kalau kaosnya sama dengan saya, baru marah; tapi kalau kaosnya beda, ya nggak apa-apa dan menganggap si ibu dan anak yang menangis itu “lebay”? Oh, saya lihat juga perundungan terhadap seorang bapak tua yang berjalan sendirian –apakah saya muslim yang biasa-biasa saja, tidak marah atau sedih, menganggapnya sebagai permainan biasa dalam politik?
Apa saya termasuk muslim yang dengan sigap, gigih, dengan amarah yang bisa jadi berlebih, menganggap bahwa itu fitnah, ada penyusup dan provokator? Dan bukan muslim yang bertanya, kalau memang itu provokator, kok bisa lolos dan tak segera diamankan oleh kaum muslim yang ada di tempat dan menyaksikan perundungan itu? Apakah saya termasuk muslim yang membiarkan selalu ada celah bagi para provokator kemarahan untuk masuk dan mengambil perhatian terhadap Islam agama saya dengan cara degil begini?
Saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu di depan cermin. Jawaban-jawaban di dalam kepala saya sungguh menyedihkan.