Cerita Shah Rukh Khan dan Masjid yang Dikuasai Para Pembenci

Cerita Shah Rukh Khan dan Masjid yang Dikuasai Para Pembenci

Kemarahan Shah Rukhkan tentang masjid pun sama seperti kita: ketika masjid dikuasi para pembenci

Cerita Shah Rukh Khan dan Masjid yang Dikuasai Para Pembenci
Shah Rukh Khan ketika menjadi sosok muislim di Amerika dalam film My Name is Khan.

Bagi yang pernah menyaksikan film “My Name Is Khan” kita akan melihat adegan kemarahan Shah Ruk Khan. Ia marah karena dialog provokatif yang dilontarkan salah satu dosen di sebuah Masjid Kampus di Amerika, tempat Khan singgah untuk shalat. Di masjid tersebut terdapat dialog ajakan melakukan jihad dengan kekerasan. Melihat hal itu, Khan melempar dosen tersebut dengan batu kecil yang selalu dipakai bertasbih oleh khan.

Apa yang menarik dari adegan cerita ini? Pelajarannya menyangkut masjid dan kaum intoleran dan radikal, di mana masjid mestinya dilindungi dari hal-hal yang membangkitkan sikap intoleran dan radikal. Salah-satu langkah yang dipertontonkan, Sakhrukh Khan, melemparkan batu sembari berlalu dengan kata-kata yang membuat dosen itu jengah, dan beberapa mahasiswa tersadarkan dari sugesti jihad sang dosen.

Film ini salah satu contoh yang bisa dilihat dalam dunia perfilman, dibuat berdasar realitas kehidupan yang dialami umat Islam, di mana narasi-narasi intoleransi dan radikalisme mengisi pojok, bahkan mimbar masjid-masjid umat Islam. Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan, selain menghilangkan kesucian masjid, sebagai rumah komunikasi manusia dengan Rabb-nya, rumah ibadah, tetapi juga membahayakan persatuan umat, persatuan kemanusiaan.

Terlebih Indonesia, negara dengan  keragaman suku, agama, ras, dan budaya, dari Sabang  hingga Merauke. Sudah sepatutnya toleransi menjadi hal wajar dalam tiap-tiap kehidupan warga negara Indonesia. Demikian, membiarkan masjid dipenuhi oleh narasi-narasi intoleran dan radikal, yang dibumbui retorika-retorika, akhirnya bisa membuat umat tenggelam pada intoleransi, radikalisme, dan disintergrasi Indonesia.

Masih hangat dalam ingatan publik Indonesia, spanduk-spanduk terpajang di Masjid, berisikan  jenazah pendukung Ahok tidak mau dishalatkan. Inilah bentuk sikap intoleran, berbeda pilihan membuat sebagian warga negara Indonesia menjadi Intoleran, karena selalu diperdengarkan simpulan-simpulan dalil agama yang tak mendalam, hanya berhenti pada makna literal semata.

Tindakan-tindakan itu telah merusak citra Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Belum lagi, jika corong kebencian dan prasangka malah bergema dari corong-corong Masjid di sektiar kita.

Masjid sendiri merupakan wahana interaksi manusia dengan Tuhan-Nya, juga interaksi manusia dengan manusia. Masjid yang dimaknakan tempat sujud, dipahami sebagai tempat berkomunikasi, berkeluh kesah manusia,  tempat realisasi perintah beribadah kepada Allah swt. Masjid juga sebagai wahana interaksi manusia dengan manusia, di zaman nabi dulu, masjid menjadi titik sentral umat Islam.

Masjid dijadikan sebagai tempat tarbiyah para sahabat, ruang musyawarah, mengatur strategi perang, latihan perang, dan juga menjadi wahana ekonomi umat. Tidak berbeda jauh dengan penggunaan masjid di masa kini, hal yang menonjol dulu, segala aktifitas yang dilakukan di masjid, berada pada rel-rel kebaikan. Meski masih dalam bentuk bangunan sederhana, tidak seperti masjid sekarang, megah namun sering banyak narasi-narasi intoleran dan radikal dari kaum intoleran dan radikal menyeruak dari masjid.

Munculnya seruan-seruan intoleran dan radikal dari masjid, tidak lain karena kosongnya masjid dari orang-orang yang mampu menarasikan perdamaian dan toleransi. Akhirnya, masyarakat didatangi kaum-kaum yang mengedepankan intoleransi dan radikalisme, hingga masyarakat dibentuk menjadi masyarakat pemarah. Ditambah narasi-narasi yang mencoba menghilangkan kecintaan terhadap bangsa dan negara. Seruan-seruan khilafah yang disebut- sebut sebagai ajaran Islam, berusaha mengaburkan konsensus para ulama, founding father, dan nasionalis, terkait Pancasila dan Dasar Negara.

Demikian, Masjid harus dilindungi bahkan dicegah dari masuknya kelompok intoleran dan radikal. Caranya dengan meramaikan masjid dengan tokoh-tokoh yang menghadirkan moderatisme atau washatiyah.

Lalu, memberikan penyadaran dengan cara dialog dengan tokoh yang intoleran dan radikal, tentunya sangat penting untuk menyadarkan masyarakat yang sudah terjangkiti intoleransi dan radikalisme. Terakhir, negara juga harus hadir untuk melakukan managerial dan pembinaan Masjid, dalam rangka memperkuat kecintaan warga negara terhadap bangsa dan negara.

Ambil contoh, salah satu masjid di NTB, bentuk dukungan pemerintah, masjid megah di kota mataram dinamakan Masjid Hubbul Wathan, yang berarti kecintaan terhadap negeri. Simbolisasi atau penamaan dengan seperti ini, setidaknya mengabarkan masyarakat untuk selalu menegakkan rasa cinta kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.