Menguji Relevansi Partai Allah dan Partai Setan ala Amien Rais

Menguji Relevansi Partai Allah dan Partai Setan ala Amien Rais

Ayat yang disebut Hanafi, memang menyebut hizbullah dan hizbus syaitan, namun tidak dalam konteks politik kekuasaan pemerintahan.

Menguji Relevansi Partai Allah dan Partai Setan ala Amien Rais

Tausiah Amien Rais yang menyebutkan bahwa ada partai Allah dan ada partai setan mengundang polemik di masyarakat. Masyarakat kini bertanya-tanya, manakah partai setan di Indonesia yang harus kita musuhi dan manakah partai Allah yang wajib kita ikuti. Pembelahan ini menurut klarifikasi Putra sulung Amien Rais, Ahmad Hanafi Rais pernyataan Ayahnya ini merujuk kepada Al Qur’an Surat Al Mujadilah ayat 19 dan 22.

Setelah diteliti dalam Tafsir al-Jalalayn dan Al-Misbah, dua ayat di atas memang menyebut hizbullah dan hizbus syaitan, namun tidak dalam konteks politik kekuasaan pemerintahan. Menurut interprestasi dua tafsir tersebut atas ayat ini, sama sekali tidak menyinggung politik.

Ayat 19 menjelaskan bahwa mereka yang sudah dikuasai setan adalah orang yang merugi. Sedangkan ayat 22 menjelaskan bahwa tidak akan ditemui orang yang beriman kepada Allah dan yang kafir saling berteman, mereka yang beriman adalah manusia yang beruntung.

Usaha pembelahan antara pembela Allah dan pembela setan ini pernah terjadi di zaman nabi. Ketika tidak ada batas teritorial wilayah antar umat beragama. Batas antar wilayah dibatasi oleh batas imajiner yaitu darul Islam dan darul harb.

Namun pada abad 19 muncul konsep negara bangsa, sehingga memungkinkan satu bangsa dihuni tidak hanya satu agama tapi berbagai agama. Maka konsep darul Islam dan darul harb ini sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Demikian juga dengan pembelahan antara hizbullah dan hizbus syaithan.

Mengapa sudah tidak relevan? Pertama, pembelahan seperti di atas memungkinkan adanya konflik antar umat bergama. Karena baik Islam maupun non-Islam akan merasa mempunyai musuh yang harus diajak masuk kedalam agama mereka, sehingga ini akan memicu ekspansi agama.

Kedua mengacaukan sistem demokrasi Indonesia, karena negara berfungsi sebagai penengah antar dua kelompok atau lebih, untuk mengakomodir masing-masing kelompok agama. Jika konsep darul Islam, darul harb dan hizbusy syaithan masih dipertahankan, maka hal ini adalah sebuah kemunduran Indonesia sebagai penganut demokrasi.

Bersambung ke tulisan kedua: Dulu Tolak Politisasi Agama, Kini Jadi Politisi Labil