Menurut saya sebagai seorang muslim, agama adalah tatanan dan aturan dari langit (samawi) yang tujuannya untuk mengatur pola komunikasi antar Yang Maha Esa dan sesama manusia. Agama ini berkehendak agar seluruh umat manusia senantiasa dalam kondisi tidak culas, tidak julid dan tidak jahat. Pokoknya yang baik-baiklah.
Jika kemudian ada seorang berbicara agama, tapi mengajarkan kita untuk berbuat buruk kepada sesama manusia, maka sesungguhnya itu bukanlah ajaran agama, tetapi pemahaman individu tersebut sebagai manusia yang memiliki keterbatasan.Pemahaman tentang agama terbagi dari tiga sisi kebenaran, kebenaran dari Yang Maha Benar adalah mutlak, sedang kebenaran dari manusia adalah nisbi, sehingga terbuka dan boleh untuk dipertanyakan, diuji dan dikritik.
Konteks hari ini, beberapa orang bersembunyi dalam jubah agama untuk mempromosikan ambisinya. Sebut saja istilah partai Allah dan partai Setan. Nama suci Tuhan dibawa-bawa dalam ranah politik praktis. Padahal satu partai yang disebut dalam bagian “partai Allah” adalah pemuja khilafah. Katanya khilafah sistem diridhai Allah dan demokrasi produk “kafir”, tetapi Allah bertarung dalam urusan partai, sedang partai itu bagian demokrasi. Puciing akutuh.
Sesungguhnya menjadi seorang muslim Indonesia yang baik, kita harus bisa memikirkan hak-hak orang banyak, daripada nafsu-nafsu golongan kita saja. Menyebut orang-orang di luar golongan kita sekutu setan, kafir dan cemoohan lainnya tidak akan membuat kita terlihat lebih baik, justru akan mempertegas betapa buruknya akhlak dan ketidakdewasaan kita dalam bermasyarakat.
Umat Islam Indonesia harusnya memiliki perhatian tidak terbatas, karena bukan hanya sesama muslim yang perlu diperhatikan tetapi juga sesama ciptaan manusia. Sisi perhatian tersebut dibangun dengan kesadaran bahwa Indonesia ada karena adanya keberagaman, kalau keberagaman hilang dari Indonesia, maka namanya bukan Indonesia. Kata budayawan Sudjiwo Tedjo, mungkin negara Indonesia tidak bubar dan akan terus ada sepanjang zaman, tetapi Indonesia sebagai suatu bangsa yang bertenggang rasa dan sepenanggungan sudah mulai hilang, karena kita mulai nampak memikirkan diri golongan kita sendiri.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Saya terheran dengan adanya kebijakan penghafal Al Qur’an akan diberi kesempatan bebas tes untuk menjadi anggota kepolisian, setelah sebelumnya sebuah perguruan tinggi negeri menerima tanpa syarat calon mahasiswa yang mampu menghafalkan Al Qur’an minimal 15 juz. Sekilas ini nampak baik, tetapi jika ditelaah lebih dalam akan terasa janggal.
Perguruan tinggi negeri dan kepolisian secara tidak langsung melakukan diskriminasi terhadap penganut agama dan kepercayaan lainnya. Meskipun memang bapak rektor ataupun Kapolri adalah seorang muslim, tetapi dalam hal ini beliau menjabat sebagai pemimpin kampus negeri dimana hal-hal harus bekerja sesuai kebijakan undang-undang dan kebaikan untuk semua.
Anggaplah saya seorang penganut Hindu, sangat mustahil dan bahkan tak masuk akal bisa menghafalkan kitab Weda, karena jumlahnya itu puluhan kitab dan setiap kitab diperuntukkan bagi umat yang berbeda pilihan warna-nya seperti warna-nya Brahmana atau lainnya. Secara tidak langsung saya tidak diberikan kesempatan untuk lolos langsung menjadi anggota kepolisian dan juga mahasiswa suatu perguruan tinggi negeri.
Suatu kesempatan saya berbincang dengan Ning Alissa Wahid, putri pertama alm. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saya bertanya mengapa dalam kristalisasi 9 nilai-nilai utama perjuangan Gus Dur tidak ada nilai perdamaian? Jawaban yang saya peroleh perdamaian adalah hasil dari nilai-nilai yang lebih subtansial yakni keadilan, kesetaraan dan persaudaraan. Ini kemudian menjadi dasar salah satu quote fenomenal Gus Dur; perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.
Menurut Prof. Quraish Shihab salah satu makna keadilan dalam Al Qur’an adalah adil di dalam arti sama. Firman Allah di dalam QS. An-Nisâ’ ayat 58 berbunyi Wa izâ hakamtum bain an-nâsi an tahkumû bi al-‘adl(Apabila (kamu) menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil). Kata adil di dalam ayat ini diartikan ‘sama’, yang mencakup sikap dan perlakuan pemangku kepentingan pada saat proses pengambilan keputusan.
Hal ini tentu sejalan dengan maksud sila ke-5 dari Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menurut Prof. Hazairin keadilan merupakan dasar negara sekaligus tujuan negara, karena memang keadilan dimaknai sebagai adanya persamaan. Masih menurut beliau, salah satu ciri-ciri bangsa yang adil yakni tegaknya hukum yang menjunjung keadilan tanpa adanya diskriminasi dan terwujudnya institusi dan aparat hukum yang bersih dan profesional.
Agama dan negara
Saya sepakat bahwa agama dan negara berjalan secara dinamis-dialektis, bukan berhubungan langsung, sehingga kedua wilayah masih ada jarak dan kontrol masing-masing, sehingga agama dan negara berjalan berdampingan. Keduanya bertemu untukkepentingan kebangsaan semata. Contoh paling nyata adalah proses adaptasi Piagam Jakartamenjadi Pancasila.Dalam perumusan ideologi bangsa dan negara tersebut, substansi negara Indonesia adalah berbentuk negara yang religius (religious nation state). Negara tidak menafikan peran agama, dan agama juga tidak menolak eksistensi negara.
Antara agama dan negara memiliki peran penting dalam menyukseskan cita-cita kemerdekaan RI, yaitu mewujudkan kesejahteraan sosial dan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi bukti bahwa NKRI merupakan negara yang secara substansial memiliki kesamaan dengan konsep Islam yang meminta adanya pemimpin (khalifah)sekaligus tegaknya konsepsi keagamaan dalam sebuah negara(religious nation state) atau sebut khilafah. Jadistop yak teriak tegaknya khilafah.
Penutup, Soekarno pernah pernah berpesan kepada seluruh umat Islam “Berislamlah dengan mengambil apinya, nyalanya, bukan abunya, debunya, asapnya!”, hal ini sejalan Perjanjian Hudaibiyah dan Piagam Madinah di masa Rasulullah.
Beliau mengambil kebijakan berdasarkan substantif agama bukan formalistik, sehingga norma agama Islam dapat diterapkan dengan fleksibel dan elastis. Beragama tidak akan menjadi kaku seperti kanebo kering. Wallahu ‘alam bishawab.