Setiap 27 Rajab—tahun ini bertepatan 14 April 2018—umat Islam di seluruh dunia memperingati Isra Mikraj. Sebagaimana diketahui, Isra Mikraj adalah peristiwa perjalanan Rasulullah Saw dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa lalu dilanjut dengan perjalanan langit sampai ke Sidratil Muntaha pada malam hari.
Dalam peristiwa agung ini, semua ulama dan sejarawan Muslim seperti Ibnu Ishaq (w.151 H) dan Ibnu Hisyam (w.213 H) sepakat, Nabi menerima perintah kewajiban salat lima waktu langsung dari Allah SWT. Adapun kisah selama perjalanan, banyak ulama yang berbeda-beda riwayat dan pandangan.
Salah satunya bisa kita simak penjelasan Syaikh Nawāwī al-Bantanī al-Jāwī dalam kitabnya, Sullam al-Munājāt (h.22). Ia mencuplik fragmen yang cukup menarik dalam kisah Isra Mikraj tentang sejarah dan filosofi gerakan salat berdasarkan riwayat dari Sahabat Jabir dan Mu’adz, RA.
Dikisahkan, ketika naik ke langit dunia Rasulullah Saw melihat banyak malaikat berdiri sambil membaca dzikir dan tidak rukuk sejak hari mereka diciptakan oleh Allah SWT. Di langit kedua, Rasulullah melihat malaikat sedang rukuk selamanya tanpa mengangkat kepalanya. Di langit ketiga, para malaikat bersujud tidak mengangkat kepalanya kecuali ketika Rasulullah memberi salam kepada mereka. Ketika Rasulullah memberi salam, mereka bangun megangkat kepalanya seketika, itu sebabnya sujud diulang dua kali dalam satu raka’at.
Di langit keempat, Rasulullah melihat malaikat bertasyahud. Di langit kelima, Rasulullah melihat malaikat bertasbih dan berdzikir kepada Allah. Di langit keenam, Rasulullah melihat malaikat bertakbir selama-lamanya. Di langit ketujuh, Rasulullah melihat malaikat membaca ya salam ya salam sejak mereka diciptakan.
Dari kejadian tersebut, terbesit dalam hati Rasulullah jika seluruh ibadah malaikat di tujuh langit itu juga dilakukan bagi dirinya dan dan umatnya. Kemudian seluruh makhluk langit tahu apa yang diinginkan Rasulullah Saw tersebut. Maka seluruh ibadah malaikat di tujuh langit dikumpulkan dalam dua raka’at yang kemudian dilaksanakan oleh Rasulullah dan umatnya.
Sahabat Mu’adz dan Jabir menambahkan, barangsiapa yang mendirikan salat dengan penuh keagungan (takzim) karena Allah SWT serta menyempurnakan rukun-rukunnya, rukuk dan sujudnya, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala malaikat di tujuh langit.
Selain Syaikh Nawāwī al-Bantanī, ada juga teks Nusantara lainnya yang menjelaskan tentang makna gerakan salat. Annabel Gallop, kurator naskah Indonesia dan Malaysia di British Library, London, pernah mem-publish naskah berbahasa Melayu terkait hal ini. Lebih lanjut begini bunyi teks tersebut:
“…Soal, karena apa kepada sembahyang lima waktu itu ada berdiri dan ada ruku’ dan ada sujud dan ada duduk?
Maka jawab; adapun berdiri itu menunjukkan pada pujinya segala kayu karena pujinya kayu itu berdiri. Maka baragsiapa berdiri kepada dalam sembahyang maka diberi Allah ganjarannya sebanyak bilangan kayu yang di dalam dunia.
Adapun ruku’ itu menunjukkan kepada puji hewan karena hewan itu pujinya tunduk. Maka barangsiapa ruku’ ia dalam sembahyang maka diberi Alah ta’ala ganjarannya sebanyak bilangan hewan yang ada dalam dunia.
Adapun sujud, itu menuntukkan kepada puji segala yang melata dalam bumi. Maka barangsiapa sujud pada sembahyang maka diberi Allah ganjarannya sebanyak bilangan yang melata dalam dunia.
Adapun duduk itu menunjukkan pujinya segala yang tumbuh dalam dunia. Maka barangsiapa duduk kepada dalam sembahyang maka diberi Allah ganjarannya sebanyak bilangan yang ada tumbuh dalam dunia.
Adapun jawab orang ahli Hakikat, adapun berdiri dalam sembahyang itu menunjukkan kepada maqam baqa’ dan ruku’ itu menunjukkan kepada maqam yakin melihat pada Allah ta’ala jadi gaib segala makhluk itu dan sujud itu menunjukkan…”
Penulis naskah tersebut tidak mencantumkan sumber rujukan filosofi gerakan salat yang ditulisnya. Hemat saya, jika memang bukan dari hadits Nabi dan merupakan pemikiran orisinil dari penulis maka sah-sah saja. Sebab, pemaknaan tersebut bisa menjadi jembatan bagi Muslim Nusantara dalam memahami setiap gerakan salat. Wallāhu a’lam