Agama dipercayai sebagai alat yang paling mudah digunakan untuk meraup kentungan dari banyak kepentingan, dalam hal ini adalah politik. Hal ini sebagaimana fenomena yang beberapa hari ini sedang banyak diperbincangkan oleh publik, yaitu dikotomi Partai Setan dan Partai Allah oleh Amien Rais. Dikotomi yang disampaikan oleh Amien Rais (AR) tersebut ia ungkapkan saat mengisi ceramah ba’da Subuh di Masjid Baiturrahim, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, pada Jum’at (13/04) pagi yang lalu.
Kalau dilihat dari lokasi dan situasi AR saat mengemukakan dikotomi Partai Allah dan Partai Setan tersebut, sudah sangat jelas dan mudah kita tebak apa sebenarnya kepentingan yang ada di balik ucapannya tentang dikotomi Partai Setan dan Partai Allah. Para audiens ceramah beliau tersebut adalah jama’ah Gerakan Indonesia Shalat Subuh Berjamaah dan lokasinya adalah masjid. Dari situ sangat terlihat jelas bahwa AR ingin meraup simpati dari masyarakat muslim untuk mendukung agenda politik beliau. Selain itu, yang juga tak bisa ditutup-tutupi bahwa AR juga adalah seorang politisi.
Dalam ceramah tersebut, yang dimaksudkan oleh AR sebagai Partai Allah adalah partai yang membela Allah. Sedangkan, yang ia maksudkan dengan Partai Setan adalah partai yang anti tuhan. Pada dasarnya, definisi yang ia kemukakan sebagai Partai Setan adalah hanya untuk mendukung pragmatisme politiknya semata. Definisi tersebut tanpa ada basis argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kenyataannya, partai politik di Indonesia hampir semuanya adalah partai yang korup, termasuk juga adalah partai yang menggunakan ‘agama’ sebagai landasan politiknya. Artinya, dalam kenyataan politik Indonesia, semua partai adalah ‘Partai Setan’.
Kemudian, terlepas dari lemahnya landasan argumentasi dikotomi yang dilakukan oleh AR tersebut. Secara tidak langsung, ucapan AR tentang Partai Allah dan Partai Setan tersebut sebenarnya menggambarkan situasi mental politik tanah air. Sebagaimana politik teokratis abad pertengahan, orientasi politik teokratisme sebagaimana yang diucapkan AR senantiasa memfokuskan kepada penerapan legal formal ajaran agama dalam negara. Padahal, perdebatan kuno tersebut di Eropa sudah dikubur dalam timbunan sejarah sejak munculnya abad Pencerahan dan Aufklarung di Eropa.
Selain sudah kuno, politik teokratisme selalu mempunyai tendensi untuk membawa politik identitas. Maka kemudian tak heran jika dalam setiap agenda politik teokratisme, ia selalu membawa unsur-unsur primordial dalam politik dan selalu menggunakan propaganda kebencian dalam kampanye politiknya. Dengan demikian, pemikiran politik teokratisme semacam ini sangat tidak relevan diterapkan dalam sebuah masyarakat yang plural seperti Indonesia. Politik teokrasi pada dasarnya menghendaki monisme politik. Dengan kata lain, politik teokratis adalah anti keberagaman.
Kemudian, politik teokratis sebagaimana yang diucapkan oleh AR tersebut hanya memperjuangkan legal formal agama dalam politik. Ia tidak memperjuangkan nilai-nilai substansial agama dalam perjuangan politik. Padahal, melihat kondisi dunia hari ini yang penuh dengan krisis kemiskinan dan kerusakan lingkungan, justru nilai-nilai agama yang seharusnya lebih penting diperjuangkan dalam politik.
Seperti kasus tumpahnya bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi di Laut Balikpapan minggu lalu, yang mengakibatkan keruskan ekosistem laut yang parah. Begitu pula kasus pebakaran hutan Sumatera dan Kalimantan oleh korporasi besar beberapa tahun yang lalu dan kasus-kasus kerusakan lingkungan yang lainnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa krisis lingkungan yang besar seperti itu lebih membutuhkan atensi politik kita bersama yang bersumber dari nilai-nilai substansial agama untuk mengatasi persoalan tersebut.
Di dalam ajaran Islam misalnya, ada konsep tentang khalifah di bumi. Dalam ajaran tersbut, manusia oleh Allah ditugaskan untuk menjadi pengelola kelestarian alam di dunia. Artinya, mandat seperti ini yang seharusnya diperjuangkan oleh agama dalam politik. Bukan malah sebaliknya, politik agama hanya sibuk memikirkan dirinya sendiri dan lupa terhadap nilai-nilai yang diajarkan oleh kitab sucinya.
Dengan demikian, kita seharusnya meninggalkan politik agama dalam kerangka teokratisme yang selalu bermuatan politik identitas. Seharusnya politik agama memperjuangkan nilai-nilai substansial dari ajaran agama yang saat ini lebih relevan untuk menjawab tantangan krisis lingkungan yang semakin hari semakin parah. Wallohua’lam.
M. Fakhru Riza, Penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.