Sumpah dalam syariat Islam berati menguatkan perkataan dengan nama Allah atau sifat-sifat dzat-Nya. Tujuan dari sumpah biasanya untuk meyakinkan orang lain bahwa apa yang dikatakan dan dilakukan orang yang bersangkutan adalah sebuah kebenaran. Sebagian orang terkadang terlanjur melafalkan sumpah, tapi dia tidak mampu melakukannya, atau melanggar sumpah yang dia ucapkan.
Dalam Islam, apabila ada orang bersumpah dengan nama Allah lantas kemudian dia melanggar sumpah tersebut, maka dia wajib membayar kafarah dengan salah satu di antara tiga hal, yaitu memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan budak. Apabila tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga hal tersebut, maka dia harus berpuasa selama tiga hari.
Meski demikian, dibolehkan membayar kafarah sebelum melanggar sumpah. Dalam al-Qur’an, praktek seperti ini disebut dengan istilah tahillah. Secara teknis, tahillah sama dengan kafarah hanya saja tahillah dilakukan sebelum melanggar sumpah, sedangkan kafarah dilakukan setelah melanggar sumpah.
Biasanya tahillah dilakukan apabila orang yang bersumpah merasa tidak mampu melaksanakan sumpahnya atau karena meyakini ada yang lebih baik ketika sumpahnya dilanggar. Tahillah ini pernah diperintahkan Nabi Saw kepada Abdirrahman bin Samurah;
وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِيْنٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ َيَمْينكَ وَائْتِ الذِيْ هُوَ خَيْرٌ
Artinya; “Apabila engkau bersumpah, lalu engkau melihat selainnya lebih baik dari yang engkau sumpahkan, maka tebuslah kafarah sumpahmu, dan lakukan apa yang lebih baik.”
Berdasarkan hadis ini, tidak terjadi perselisihan di antara para sahabat Nabi Saw dan ulama’ mengenai kebolehan tahillah ini. Hanya saja al-Imam al-Syafi’i memberikan catatan mengenai puasa tiga hari. Dalam pandangan beliau, khusus puasa tiga hari tidak boleh didahulukan sebelum melanggar sumpah karena belum masuk waktu wajib berpuasa sebagaimana puasa Ramadhan tidak dilakukan sebelum tiba waktunya.