Tahun 2019 digadang-gadang akan menjadi tahun politik, yang akan banyak diikuti oleh kandidat-kandidat dari partai-partai besar. Seperti biasanya di tahun politik pasti akan banyak isu di goreng demi kelancaran kandidat partai tertentu, bisa saja isu komunisme kembali mengudara atau bahkan mungkin isu Sara akan kembali muncul.
Di tahun politik ini ujian kembali hadir menyapa kita, menyapa kekutan rakyat akar rumput, menyapa pandangan politik kita. Yang lebih mengerikan lagi tahun politik ini menguji kekuatan pluralitas kita, akankah tetap kokoh atau justru porak poranda karena hantaman perbedaan pandangan politik tertentu?
Menjaga pluralitas tidaklah mudah, ini semacam pintu gerbang peradaban kita selanjutnya. Jika kita tidak mampu menjaga dan merawat pluralitas ini maka yang terjadi adalah kekacauan, tindakan kekerasan, atau konflik horisontal.
Antisipasi terhadap kekacauan tersebut sebenarnya masih dapat kita lakukan selama sendi-sendi kekuatan masyarakat masih ada. Kita dapat belajar dari sejarah panjang peradaban manusia dalam mengelola perbedaan pandangan politik, agama, budaya, dan etnis tertentu.
Peran tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat dan politisi sendiri begitu penting demi terjaganya politik yang bersih, damai, dan sehat. Begitupun pentingnya peran tokoh agama maupun masyarakat dalam isu penggiringan opini publik dalam meraih kesempatan suara massa demi memenangkan calon yang diusungnya.
Isu sara dianggap lebih mampu mengguncang perhatian masyarakat. Isu penistaan agama, isu pemimpin non-muslim, isu Cina dan lain-lain menjadi gerbang utama perolehan dukungan publik terhadap kandidat terpilih. Untuk menghindari isu sara yang dapat berakibat konflik, sebenarnya yang kita butuhkan adalah pemandangan aktualisasi keagamaan yang nyata. Yang substansial, yang hakiki, dan tidak sekedar kulitnya saja. Lebih-lebih sekedar politis.
Mohandas K. Gandhi mengenalkan kepada kita Ahisma. Secara etimologis Ahisma berasal dari kata a yang berarti tidak dan hisma yang mempunyai arti melukai, merusak, membunuh, mengganggu, meretakkan, dan sebagainya. Dari Gandhi kita belajar untuk tidak menjadi peretak rumah tangga keragaman keluarga besar Indonesia, dari Gandhi kita belajar cinta kasih, menunjukkan rasa sayang terhadap sesama manusia.
Sedangkan Martin Luther King Jr. mengajari kita bagaimana berbuat adil terhadap sesama manusia, baik yang berkulit hitam maupun putih. Dari Martin Luther kita sadar bahwa diskriminasi kulit hitam di Amerika bukan sesuatu yang masuk akal. Siapa di antara kita sekalian yang dapat berencana menjadi penduduk bumi bagaian tertentu? Saya kira kita tidak mampu menjawabnya. Berkulit putih maupun hitam semuanya kondisi yang telah diberikan, artinya semua itu sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Yang membedakan kita hanyalah seberapa jauh pengabdian kita terhadap kemanusiaan untuk saling asih, asuh, dan sayang.
Dari Gus Dur kita belajar tentang agama yang substansial, agama yang bukan hanya sekedar kulitnya saja, tetapi agama yang benar-benar melihat nilai-nilai substansial di dalamnya. Seperti yang sering kita dengar Gus Dur mengatakan “Tidak penting apa pun agama atau sukumu kalau kamu bisa melakukan yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”
Saya kira kita sepakat bahwa pengabdian terhadap kemanusiaan membuat kita dianggap mampu memanusiakan-manusia. Semoga bangsa Indonesia khususnya umat Islam mampu cerdas dan berkualitas untuk sesegera mewujudkan rasa kemanusiaan yang kita cita-citakan. Rasa kemanusiaan yang bukan anti terhadap agama tertentu, etnis tertentu, maupun budaya tertentu. Tetapi sebaliknya, yang dilakukan adalah menjadikan agama agar selalu berpihak pada korban-korban ketidakadilan serta mewujudkan keadilan untuk seluruh manusia.