Hebohnya kartun Majalah Tempo, edisi 26 Februari 2018 yang mengakibatkan Front Pembela Islam (FPI) demo besar-besaran harus menjadi pembelajaran. Kejadian itu membuktikan masyarakat masih “miskin literasi seni” dalam media massa. Literasi seni di sini meliputi membaca, mengapresiasi, menafsir, bahkan mengritik kartun sebagai produk seni, budaya, dan produk pers.
Jika ada ormas berunjuk rasa anarkis, hal itu bukan sekadar ketidakdewasaan. Namun, lebih pada minimnya literasi seni untuk membaca dan menafsirkan sebuah kartun, karikatur, maupun animasi.
Ketika masih tataran “asumsi”, ironis jika sekelompok orang bertindak bar-bar dan menerjang hukum. Semua produk pers termasuk karikatur di sebuah media cetak tentu melalui proses rapat redaksi yang masak. Jika ada yang merasa dirugikan, pihak itu bisa melakukan hak jawab sebagai bentuk kepatuhan Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers.
Ketika sudah klarifikasi tak menemukan titik temu, baru naik banding ke Dewan Pers. Namun jika tak ada benang merah, baru ke pengadilan. Demikian prosedur ketika ada polemik atas kerja jurnalistik dalam media massa. Namun, mengapa FPI demo anarkis?
Tafsir Kartun
Jika kita lihat, kartun itu merupakan produk pers di media cetak yang berbeda dengan media siber yang cepat saji. Kerja mereka tentu didasarkan proses jurnalistik yang taat pada fakta, asas berimbang dan objektif. Karena ini berupa kartun, maka wajar jika multitafsir, dan FPI tak bisa seenaknya mendemo tanpa proses hukum yang diatur negara.
Kartun, karikatur, animasi, dalam dunia pers sudah biasa. Tujuannya, secara umum untuk hiburan, edukasi, dan ilustrasi dari sebuah topik yang diangkat. Dari akar pembuatannya, kartun bertujuan hiburan dan edukasi, bukan menyudutkan pihak tertentu.
Jika karena asumsi atas produk pers lalu ada demo, maka sama saja FPI blunder. Mereka menilai, kartun bergambar pria berjubah putih dan seorang wanita sedang duduk berdua satu meja itu, telah menyinggung imam besar FPI, Habib Rizieq Syihab yang kebetulan gagal pulang ke Indonesia.
Jika dilihat seksama, kartun itu tak menggambarkan Habib Rizieq. Juga tidak ada satu titik yang menandakan simbol-simbol FPI, apalagi melecehkannya. Pada kartun itu hanya ada nama pembuatnya, Yuyun Nurrachman, dan dua kalimat yang seolah sedang diucapkan pria dan wanita di kartun. Pria berjubah itu dituliskan mengucapkan “Maaf… Saya tidak Jadi PULANG”. Sementara wanita itu menjawabnya, “Yang Kamu Lakukan itu JAHAT”.
Jika dianalisis, kartun di Majalah Tempo itu justru mirip salah satu adegan di film Ada Apa Dengan Cinta 2. Adegan itu ketika Rangga yang diperankan Nicholas Saputra dan Cinta yang diperankan Dian Sastro Wardoyo, bertemu kembali setelah lama berpisah.
Dugaan FPI terhadap pelecehan Habib Rizieq, harusnya diklarifikasi dengan santun. Mereka bisa melakukan hak koreksi dengan datang perwakilan untuk memastikan bagaimana, siapa, dan apa tujuan redaksi Tempo memasang kartun itu. Bukan justru marah-marah, dan melakukan persekusi pada redaksi.
Belajar dari Gus Dur
Zaman cepat berubah, mengharuskan kita bisa mengikutinya. Jika dulu solusi atas ketertinggalan Indonesia pada penguatan kompetensi, karakter, dan literasi, namun literasi kini telah berubah. Dulu, literasi lama hanya pada aspek membaca, menulis, dan berhitung. Namun, di era disrupsi dan menyambut era Revolusi Industri 4 ini, pemerintah mendorong masyarakat menerapkan “literasi baru”.
Literasi baru itu terdiri atas literasi data, teknologi, dan literasi humanisme atau Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam konteks kartun, literasi seni sebenarnya bisa ditafsirkan ke literasi baru, yaitu pemahaman atas data, teknologi, dan sikap humanisme.
Sesuai hasil revisi Kurikulum 2013 tahun 2017, salah satu yang dikuatkan adalah literasi. Penguasaan literasi Abad 21 terangkum dalam akronim 4C (creative, critical thinking, communicative, dan collaborative). Faktanya, generasi sekarang masih pada tataran 4C, yaitu ciut (sempit), cethak (dangkal), cekhak (sederhana), dan cendhek (pendek). Pola 4C ini tak hanya di wilayah pemikiran, namun juga perbuatan yang mengakibatkan tindakan kekerasan, dan penyembelihan humanisme.
Salah satu contohnya pada penafsiran kartun di Tempo. Sebagai produk seni dan pers, kartun itu harus dimaknai dengan pendekatan seni dan pers. Sebab, orang paham seni dan pers, pasti memiliki tafsiran kartun di Tempo itu dengan pola beda. Namun bagi yang tak paham seni dan pers, mereka akan salah menafsirkan kartun itu.
Kita bisa belajar pada warga Nahdlatul Ulama (NU) dan Gus Dur. Berkali-kali, Gus Dur dijadikan karikatur, namun tak ada warga NU demo. Contohnya, sampul buku biografi Gus Dur karya Greg Barton bersampul karikatur Gus Dur bertubuh gendut. Gus Dur pun dibuatkan patung yang diasosiasikan menyerupai Budha.
Ketika acara Kick Andy, di akhir acara Andy F. Noya menyerahkan karikatur Gus Dur yang menggendong kendi bertuliskan Drunken Master laiknya pendekar kungfu. Namun, Gus Dur tetap santai, demikian juga warga NU tetap adem. Artinya, tanpa melek literasi seni kartun, jika masyarakat berpikir positif, semua akan adem.
Namun melihat realitas, masyarakat harus tetap didorong melek “literasi baru” yang tidak sekadar membaca, menulis, dan berhitung. Masyarakat harus menerapkan kebenaran atas dasar data, teknologi, dan kualitas SDM.
Orang berdemo, mengritik, harus memakai data. Jika FPI demo tanpa data, maka sama saja bertindak blunder. Sebab, pada puncaknya, penguatan literasi data bisa membangun fondasi kekuatan teknologi yang hilirnya mencetak generasi humanis.
FPI harus membuktikan bahwa ia ormas humanis yang mengutamakan asas ilmiah, berbasis data bukan sebatas asumsi. Jika tidak melakukan disiplin itu, lantas apa tujuan mereka demo?